21. Di Luar Rencana.

263 37 6
                                    

"Kita akan segera pergi, sebaiknya kamu bersiap. Mia akan membantumu," ucap Vard begitu mereka telah sampai di sebuah rumah besar.

"Aku, masih ingin di sini." Jules kembali menolak, ditatapnya wajah pamannya yang tampak kaku itu.

Tangan kekar yang semula menyeret sebuah koper itu terhenti seketika, jawaban itu sudah bisa ditebak tapi tidak disangka keponakannya mengungkap dengan selugas itu. Jules berada di sini rasanya sudah sangat menguras emosi. Tidak ada celah yang bisa dimasuki atas hubungan ayah dan anak itu, sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi.

Jules bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri di hadapan papanya meski dia sekarang sudah remaja, demikian juga Hagen yang masih juga kaku dan gelap tanpa mau membuka sedikitpun baik pikiran juga mata hatinya. Setiap pertemuan tidak ada yang baik, semua pasti berakhir dengan buruk. Memang yang terbaik Jules tidak pernah lagi bertemu dengan papanya.

Mungkin memang luka hati Hagen begitu besar, tapi perbuatannya juga tidak bisa dibenarkan. Bukan Jules yang meminta untuk hadir ke dunia, bukan dia juga yang memutuskan siapa yang meninggalkan dunia. Tangisnya waktu itu membuat wanita yang pernah melahirkannya itu tanpa berpikir panjang untuk memilih mengorbankan nyawa. Dan Hagen yang datang terlambat itu hanya bisa melihat nyala api yang menari melahap habis tubuh istrinya.

"Kamu, harus segera pergi." Vard dengan pelan mengatakan itu, tidak ada jalan lain.

"Di sana aku sendirian," kilah Jules mencari alasan.

"Kamu akan paman titipkan pada grandma Ev, kamu tidak akan kesepian di sana. Ada cucu grandma yang bisa kamu ajak bermain," ujar Vard dengan keputusannya yang sudah bulat.

Jules terlihat tidak suka dengan apa yang disampaikan oleh pamannya itu. Mungkin saja tidak akan kesepian, wanita tua itu begitu baik kepadanya. Akan ada kesempatan untuk bersama dengan cucunya yang masih kecil dan manis, mungkin kalau senggang bisa bermain dengan Taj yang sekarang telah beranjak besar dan hampir menyamai Maghra, sang ibu.

"Aku tidak mau," jawab Jules dengan tegas, ayolah dirinya sekarang sudah berusia 17 tahun dan sampai kapan pamannya akan mengekangnya.

"Paman tidak peduli," jawab Vard terlihat kesal.

"Aku tidak akan pergi, sampai kapanpun," balas Jules kali ini dengan keras.

"Kenapa!" teriak Vard dengan marah, Jules sejak berada di sini kenakalannya sepertinya sulit untuk diterima.

"Papa sakit keras, bukan?" tanya Jules tiba-tiba dan itu sukses membuat Vard terkejut.

"Tahu darimana kamu? Hagen baik-baik saja, dia masih kuat melemparmu dan membuat kamu babak belur," kilah Vard mencoba mengalihkan keponakannya.

"Kimmy, dia beritahu semua," jawab Jules dengan polosnya.

Dalam hati pria itu segera mengutuk wanita itu, Kimmy sudah sangat tahu kondisi dalam keluarga mereka tapi dia malah memilih membocorkan rahasia yang begitu dalam dia pendam. Entah apa yang ada di dalam pikiran orang itu, seandainya Hagen bisa menerima anaknya itu lain soal, tapi yang terjadi tidak begitu. Jules harus jauh dari Hagen, apa yang bisa dilakukan oleh kakaknya itu bisa saja lebih dari dugaan dan dirinya tidak ingin anak manis yang dibesarkannya dengan susah payah ini harus terluka.

"Wanita jalang," gumam Vard kesal, koper yang semula ditariknya itu kini dihempaskan begitu saja berderak.

"Kimmy berkata kalau papa sakit keras dan butuh donor," ujar Jules seperti tidak paham dengan carut marut pikiran pamannya.

"Terus kenapa?" tanya Vard dengan ketus.

"Katanya, darah kami cocok," jawab Jules dengan polosnya.

"Lalu?" tanya Vard, matanya menatap tajam menusuk tapi sepertinya Jules tidak terlalu peduli.

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang