Part 08

33.5K 1.5K 29
                                    


"Serius cuma begitu aja balasan lo? Hahaha."

"Emang lo ini kurang agresif, Affa."

"Harusnya lo bilang ke Gauri, lo bakal datang pagi ke rumahnya buat sarapan bareng."

"Atau lo bisa bilang, lo bakal nginap di sana supaya lo bisa bangun pagi buat sarapan."

Tatapan mata tajam sarat peringatan segera saja dilemparkan pada Leo, akan ditunjukkan ketidaksukaan akan celotehan kawannya itu.

Sebenarnya, kebodohan ada pada dirinya yang menceritakan bagaimana obrolan dilakukan bersama Gauri, dua jam lalu.

Harusnya jangan diberitahukan ke kawannya, maka ia tak akan menerima cemoohan dan tawa ejekan yang sangat mengganggunya.

Semestinya pula, ditolak kunjungan Leo ke rumahnya saja. Jadi, tak perlu menghadapi tingkah sang kawan yang menguji emosi.

Disaat pekerjaan masih banyak dan harus segera diselesaikan, tidak ingin didapatkan beban tambahan yang mengusik pikiran.

Atas ketidaksukaan ditunjukkan lewat sorot mata menusuk, tak akan semudah itu dalam membuat Leo berhenti memprovokasi.

Kawannya masih tertawa.

Jika sampai sepuluh menit lagi gelakan tidak dihentikan, ia sudah bertekad akan membuat Leo pergi segera dari ruangan kerjanya.

Kesabarannya sudah habis.

"Gue salah bicara, Bung?"

Tak diberikannya reaksi atas celotehan tanya sang kawan baik, namun masih tak berhenti dilayangkan peringatan lewat matanya.

"Lo katanya mau balikan sama Gauri lagi, tapi lo masih payah sama usaha yang lo lakukan."

"Ya, kali dia bakal mau balik sama lo, saat lo tidak menunjukkan perasaan lo sendiri."

"Saran gue, lo lebih agresif, jangan sampai lo keduluan sama yang lain di luar sana."

"Istri lo masih muda. Cantik lagi. Lo nggak lihat beberapa staf laki-laki di kantor yang suka curi pandang ke Gauri? Dia udah janda sekarang, makin berani yang dekatin."

"Siapa saja mereka?" Affandra bertanya dalam nada datar, tapi dada mulai panas.

"Lo perhatiin sendirilah. Gue nggak tahu nama mereka semua. Mereka staf lo."

Tak diberikan tanggapan lanjutan.

"Lo jadi ke Malaysia? Ajak Gauri?"

"Hmm." Affandra berdeham pelan sebagai mengiyakan. Ia malas bicara banyak.

"Oke, gue akan bantu lo biar selama di sana, lo bisa bulan madu sama Gauri."

Affandra hendak menanyakan lebih lanjut arti dari celotehan sang sahabat, namun ponsel bergetar, tandakan ada panggilan masuk.

Diraih cepat handphone miliknya, ingin tahu siapa yang malam-malam menelepon.

Ternyata, sang kakek.

Affandra lekas keluar dari ruangan kerjanya untuk menerima panggilan. Tak mungkin tidak mengangkat telepon dari Flauz Weltz.

Pasti ada pembicaraan serius.

"Hallo, Nak."

"Selamat siang, Oppa." Affandra menyapa hormat, mengikuti waktu Belanda.

"Kau sudah tidur, Nak?"

"Belum, Opa."

"Opa dihubungi ketua umum partai. Dia mau kalian makan bersama. Atur jadwalnya dan berikan apa yang dia mau agar kau mendapat dukungan penuh pencalonan."

"Baik, Opa."

"Ada satu masalah lagi, Nak."

"Masalah apa?" Affandra mulai waspada.

"Hemmy mendatangi Opa. Dia mengatakan dia memiliki kekasih yang sedang hamil di Indonesia."

Affandra diam. Tak ingin berkomentar karena kehidupan sang adik tiri bukan urusannya. Ia hanya perlu menunggu titah sang kakek.

Flauz Weltz pasti punya rencana jika sudah memberitahunya, tinggal menjalankan.

Namun rasanya untuk masalah tak berkaitan akan bisnis keluarga, tak ingin dicampurinya.

"Apa kita perlu menyewa informan untuk tahu siapa kekasih dari Hemmy, Nak?"

Sang kakek meminta pendapatnya.

"Saya kira tidak perlu, Opa. Itu pilihannya. Saya yakin dia akan bertanggung jawab atas tindakannya." Affandra berikan opini jujur.

"Bagaimana jika ulahnya ini akan membuat citra keluarga Weltz ternoda, Nak?"

"Akan berpengaruh jika sampai ada skandal merusak pencalonanmu sebagai legislator, Affandra."

Sang kakek lebih waspada dari dirinya.

"Baik, Opa. Saya akan menyewa informan untuk mencari tahu hubungan Hemmy."

Hanya didengar dehaman kecil kakeknya.

Keheningan berlangsung kemudian. Namun, ia tak bisa memutus telepon begitu saja, andai memang tidak ada bahasan lagi.

Biasanya sang kakek yang akan mengakhiri lebih dulu panggilan jika benar sudah selesai pembicaraan di antara mereka.

"Bagaimana dengan Gauri? Kau sudah minta dia untuk rujuk denganmu lagi, Nak?"

"Saya masih berusaha, Opa."

Affanda ingin menikahi Gauri kembali karena memang menginginkan wanita itu. Bukannya sekadar memenuhi perintah sang kakek.

Selama satu minggu ini bertemu dan juga berinteraksi inten, hatinya semakin terpikat akan sosok sang mantan istri.

Kerinduan tiga bulan tidak berjumpa dengan Gauri, menyiksanya hampir setiap hari.

Jika sekarang memiliki kesempatan terbuka untuk terus bersama Gauri, maka akan ia gunakan semaksimal mungkin.

"Buat Gauri rujuk denganmu, Nak. Opa akan menentang pernikahan politik yang sudah direncanakan oleh orangtuamu."

................

Mari kita lihat mantan suami-istri mau bulan madu di Malaysia. Hahaha.

Si Bapak lebih agresif ayoooo.

Pewaris Untuk Mantan SuamiWhere stories live. Discover now