Xeno Chat 001

182 14 2
                                    

Halo teman-teman semuanya!

Selamat datang di cerita baru pengganti chat group sebelumnya. Tapi tenang saja cerita reactionnya tidak dihentikan kok.

Semoga cerita kali ini tidak akan ada kecuali typo saja. Mohon bantuannya untuk bisa memberikan pendapat kalian soal cerita ini.

Kalau kalian baik, silakan berikan vote, komentar, dan juga share cerita ini.

Sekarang silakan membaca!

~ Indonesia – POV Ketiga~

~ Indonesia – POV Ketiga~

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.


Ah Indonesia...

Betapa indahnya negeri ini. Digadang-gadang menjadi salah satu dari sekian negara yang kesatuannya tidak dapat tergoyahkan.

Beragam suku dan budaya yang tinggal di negara kepulauan ini. Hidup saling bertoleransi, bisa harmonis, bahkan rukun dalam perbedaan yang ada.

Ya benar. Inilah Indonesia.

Terdiri dari tiga puluh lebih provinsi, ribuan suku, ratusan bahasa, serta ragam kepercayaan yang dipeluk tiap individu, Indonesia menjadi negara kesatuan paling unik.

Bagaimana tidak? Meskipun di sebuah kampung terdapat lebih dari enam suku yang berbeda, tidak ada rasa untuk saling memusuhi. Semuanya bisa akrab.

Seperti salah satu tokoh utama kita dalam cerita ini. Nuran Ali. Sering dipanggil dengan sebutan Ali.


Pria berusia dua puluh tiga tahun yang bekerja di sebuah pabrik pengolahan roti

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.


Pria berusia dua puluh tiga tahun yang bekerja di sebuah pabrik pengolahan roti. Beragama Islam, berdarah Sunda asli, dan dia hidup bersama dengan adiknya yang baru masuk kuliah.

Ali dan adiknya sudah ditinggal mati oleh orang tua mereka sejak kecil. Lalu mereka pun dirawat oleh paman mereka yang cukup tegas. Tapi mereka hidup cukup makmur.

Sampai Ali lulus SMA, dia dan adiknya memutuskan untuk hidup mandiri. Banyak pelajaran yang sudah mereka dapat dari sang paman. Bisa terlihat kalau keluarga mereka yang satu ini bangga melihat keponakan mereka untuk terbangun tanpa pengawasan.

Ketiganya masih sering berkomunikasi. Kadang sang paman mengirimi mereka uang. Ali bersyukur punya keluarga yang perhatian.

Dalam lima tahun dia bekerja selama ini, tidak ada masalah serius yang pernah dia alami. Mungkin paling parah hanya sebatas kelalaian saat pengemasan produk. Selebihnya tidak ada.

Padahal Ali memiliki sebuah kekurangan yang cukup memalukan bagi sebagian orang.

Dia memiliki masalah kesulitan untuk berjalan atau semi-disabilitas. Terjadi saat Ali menginjak usia delapan tahun. Saat diperiksa dokter sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Tapi satu hal yang menjadi kemungkinannya adalah kegagalan tubuh Ali dalam membentuk beberapa organ di kakinya. Seperti kurangnya otot dan tulang yang agak kecil.

Ali masih bisa berjalan. Tapi jaraknya sangat terbatas. Jadi jika dia ingin berjalan paling hanya di dalam rumah saja. Berdiri paling lama saja hanya sampai lima menit.

Banyak orang yang memandang rendah Ali karena kekurangannya ini.
Apakah Ali minder? Oh tidak. Justru karena dia memiliki kekurangan inilah dia bisa bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan kepadanya.

Masih banyak orang yang tidak beruntung darinya. Baik itu dari segi ekonomi maupun sosial. Secara religius, Ali selalu melihat orang-orang yang ibadahnya lebih rajin dari dia.

Mereka menjadi panutan agar Ali bisa beribadah lebih baik dari sebelumnya. Apapun cobaan yang dia alami.

Contohnya?

“Mulai hari ini, kamu tidak perlu lagi bekerja di pabrik ini.” Ucap pemilik pabrik roti.

Malik mencoba mencerna kalimat yang keluar dari mulut atasannya. “U-um, mohon maaf pak. Boleh saya tahu kenapa saya diberhentikan untuk bekerja di sini?”

Sang pemilik pabrik hanya memutar bibir sambil melirik pada Ali. “Kontrak kerja kamu sudah habis. Gak bisa diperpanjang lagi.”

“Apa.. apa ini tidak bisa dibicarakan lagi pak? Mungkin saya perlu meningkatkan kinerja saya atau harus lembur sebagainya.” Ali hampir mengeluarkan nada orang yang ingin memelas. Dia menahannya sebisa mungkin.

Ali sama sekali tidak dilihat oleh atasannya sekarang. “Coba kamu sadar. Lihat orang-orang di sekeliling kamu. Mereka mondar-mandir, harus memenuhi target harian, ada juga yang bergeraknya itu harus cepat.”

“Kamu, memakai kursi roda begitu, hanya menghalangi. Masih mending pabrik ini ada kemajuan. Kenyataannya? Rugi.” Kata terakhir diucapkan seperti meludah.

Ali berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggigit bibirnya.

“Orang tuh capek harus sabar meladeni orang cacat seperti kamu. Kamu pikir gak ada yang protes. Salah. Banyak orang yang sudah komplain ke saya kalau kerja mereka terhambat gara-gara kamu.”

Dia menggelengkan kepalanya menggambarkan kekecewaan. “Lima tahun. Gak ada perkembangan sama sekali. Grafik kita itu menurun. Kalau saya biarkan kamu kerja lebih lama yang ada kamu hanya akan merugikan orang lain.”

Kali ini Ali dipandang layaknya keset yang sudah kotor. Diinjak oleh banyak kaki penuh tanah sampai orang tidak ingin membersihkan kakinya di sana.

“Jangan pikir karena kamu butuh perhatian lebih orang bisa tolerir. Untuk apa saya mempekerjakan orang seperti itu. Paham?”

Ali menahan emosinya. Dia sering diberikan omongan menyayat hati seperti ini tapi ini pertama kalinya dia ingin bicara balik dengan memakai nada tinggi. Tidak ada pilihan lain, Ali pun menerima takdirnya ini.

Akhirnya Ali menghela napas panjang. “Saya.. mengerti. Maaf kalau saya sudah banyak merepotkan. Terima kasih sudah membiarkan saya bekerja di sini selama lima tahun.”

Atasannya sama sekali tidak membalas ucapannya. Dia hanya ingin Ali pergi.
Ali berdiri dan berjalan keluar ruangan. Di saat yang sama, putra dari pemilik pabrik masuk dengan mengabaikan Ali.

Satu hal yang ada di pikirannya.

‘Kursi rodaku hilang.’

Sungguh cobaan yang berat baginya hari ini. Mungkin dia benar-benar memerlukannya.

Di dalam kantor bos sendiri, pemilik pabrik dengan putranya saling beradu tatap. Belum ada yang memutus kontak mata bahkan setelah dua menit berlalu.

Kemudian... mereka tertawa.

“Haduh.. papa bisa aja nih. Pake pura-pura galak segala.”

“Harus begitu dong Domi. Papa itu bos mereka. Mereka tidak punya hak untuk melawan.”

“Iya deh, keren. Tapi makasih ya pah, dengan dia dipecat aku jadi bisa ngedeketin si Zainab. Sumpah kayak mau muntah ngeliat dia ngomong sok akrab.”

“Papa dari dulu memang udah niat buat mecat dia. Apa kata dunia kalau papa punya karyawan cacat kayak gitu? Mau ditaro di mana muka papa nanti?”

“Makanya itu, kan Domi udah sering bilang ke papa. Kotoran kayak dia itu harus dibuang supaya gak bikin penyakit di sini.”

“Udah, udah. Lama-lama papa nanti gak ada nafsu makan pas pulang nanti. Sekarang gimana kabarnya proyek di kantor kamu? Ada kesulitan?”

“Gak ada dong pah. Aku kan udah profesional. Hal kayak proyek gitu mah gampang diurusnya. Sekarang kebetulan aja klien perusahaan tempat aku kerja ada urusan buat dia hari ke depan.”

“Oh gitu. Bagus. Anak papa memang tidak pernah gagal membuat papa bangga.” Pemilik pabrik menghisap rokoknya sebelum bicara lagi. “Kalau si Zainab itu kapan mau kamu lamar?”

“Rencananya sebulan lagi pah. Aku juga udah deketin orang tuanya dia. Tinggal senggol dikit, beres.” Wajahnya nampak sedikit sombong.

“Kalau mau langsung lamaran, kamu bilang dulu sama papa. Biar ada persiapan kita sebelum ke sana. Mama kamu juga bisa gawat kalau ga dikasih tahu.” Wajah Domi agak sedikit berkeringat.

Keduanya pun terus mengobrol hingga sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya Domi. Dia membaca pesannya lalu terdiam seperti patung. Wajahnya memucat seperti melihat hantu.

“Kamu kenapa?” Ayahnya mendekati dan ikut melihat isi pesannya. Ekspresi yang ditunjukkan berbeda jauh karena yang muncul adalah amarah. “Domi..”

“A-aku bisa jelasin pah.” Dia ketakutan setengah mati.

Sayangnya pemilik pabrik tidak menerima alasan atas sesuatu yang muncul di ponsel putranya.

Kita kembali pada Ali yang berjalan pulang ke rumahnya. Meskipun dia sering berhenti karena kakinya tidak sekuat itu. Dia bisa berjalan setiap tujuh langkah lalu istirahat.

Tidak banyak yang bisa dia lakukan saat ini. Dengan fisik kakinya yang lemah, satu-satunya jalan hanya terus melangkah meskipun harus terlambat.

Sebelum pulang, dia sudah bertanya pada rekan kerjanya apakah mereka melihat kursi roda miliknya. Dan dijawab tidak oleh mereka. Ali tidak ingin berprasangka buruk jadi dia memilih untuk langsung pulang.

Dia tahu hampir semua karyawan di sana hanya mengikuti perintah dari pemilik pabrik. Kalau ada yang melawan pasti langsung dikeluarkan.
Apa daya hidup ini bagi Ali. Keterbatasan fisik memang sering menjadi penghalang untuk mencapai suatu tujuan. Dia hanya bersyukur masih bisa hidup sampai sekarang.

Tapi... dia tidak bisa terus berjalan. Setiap langkah membuat kakinya gemetaran. Anggota gerak bawah miliknya sudah tak kuat untuk membopong tubuh atasnya.

Dia baru berjalan sejauh satu kilometer. Ada sembilan kilometer lagi yang harus dia tempuh. Jauh bukan?

“Masih jauh... Haa... haa... Ya Allah kakiku. Semoga bisa cepat sampai rumah. Nisa pasti sudah sampai di rumah sekarang. Aku juga belum beli makan buat dia.” Ali terengah-engah di tengah perjalanannya untuk pulang.

Ali kini mencoba untuk berdiri lagi. Tangannya hanya bisa membantu agar dia tidak jatuh. Gigi gerahamnya dia kuatkan sambil menarik diri ke atas.

Tidak ada satupun orang yang membantunya kecuali dirinya sendiri. Banyak orang berlalu lalang menghiraukan eksistensinya. Kebanyakan sibuk dengan urusan pribadi masing-masing.

Tak lama Ali pun berhasil berdiri dengan badan agak menempel pada dinding bata halus. Untuk saja bukan tembok rengginang yang jadi tempat sandarannya.

Dia mengambil langkah kecil untuk mulai berjalan. Pelan tapi pasti. Ali tidak bisa terburu-buru atau dia akan jatuh.

Meskipun kakinya sudah mulai gemetar lagi ditambah dengan langit yang sudah menggelap, Ali tidak bisa menyerah sekarang.

Langkah berikutnya dia ambil. Sejauh ini tidak ada yang mengkhawatirkan. Dia berjalan lagi.

Saat itulah dua orang anak remaja dengan sengaja menyenggol tubuhnya membuat Ali terjatuh.

“Ya Allah Ya Rabbi!” Tangan menyentuh tanah menahan agar wajahnya tidak membentur ke bawah. Berhasil dengan sedikit lecet di bagian tangan.

Ali melihat dua anak tadi yang berlari sambil tertawa tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia hanya bisa menghela nafas saja.

‘Sabar. Ini cobaan.’ Sugesti yang sering dia tanamkan ketika terkena musibah.

Tak ada gunanya marah. Dia sadar betul. Berusaha bangkit lagi dengan tangannya yang sedikit sakit, Ali berdiri lagi. Namun kali ini kakinya tidak kuat menopang massa tubuhnya.

Dia pun jatuh ke depan. Anehnya, tidak ada rasa sakit yang datang sama sekali.

Jadi Ali pun membuka matanya dan melihat seseorang sedang menahan dirinya agar tidak jatuh.

“Yo, Ali.”

“Fatah?”

~ Wings Go ~

Setelah bertemu dengan teman masa kecilnya, Ali diajak Fatah untuk mampir di sebuah restoran cepat saji bernama Wings Go. Ali hanya pesan minuman karena dia memikirkan soal adiknya yang belum makan.

“Maaf ya sampai buat report. Kamu juga sampai bawa aku masuk ke sini. Harusnya ga usah.” Ucap Ali yang merasa tidak enak pada temannya.

“Nonsense. Menolong teman yang sedang tertimpa musibah sudah sering dipraktikkan oleh nabi Muhammad. Lagian juga kenapa pulangnya jalan kaki kalau jalannya masih belum lancar bro?” Fatah bertanya dengan penuh penasaran.

Aku di Xenoverse Chat GroupOù les histoires vivent. Découvrez maintenant