59. A Slice of Apple Crumble

126 11 0
                                    

Munich, Germany
November 2026

Saat Fabian baru mengambil sesuap garden salad yang ia beli dari kafetaria rumah sakit, Benedikt datang untuk bergabung bersamanya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Benedikt saat mengambil kursi di hadapannya Fabian. 

"Tidak. Mood-ku tidak baik karena menonton film rekomendasimu."

Benedikt hanya menahan tawanya dan memakan garden salad-nya dengan cepat. Mood-nya Fabian benar-benar persis dengan apa yang ia dapatkan setelah rewatch film tersebut.  "Aku tahu kamu akan bad mood setelah menonton Endless Summer, tapi bagaimana menurutmu?"

Fabian mengingat kembali apa yang ia tonton semalam. Menurutnya, film tersebut bagus dan relateable dengan apa yang terjadi oleh beberapa pasangan di sekitarnya. Tidak ada pengkhianatan, hanya adanya kesadaran atas ketidakcocokan dari karakter tersebut. Kesadaran inilah yang membuat Fabian menangis kenapa ada ending film yang sebrutal (brutal karena emosinya dipermainkan) ini. "Menurutku yang salah hanya takdir, sih. Karena masing-masing karakternya pantas mendapatkan hidup yang baik sesuai dengan visi misi hidupnya."

"Ya, benar, aku juga melihatnya seperti itu," sahut Benedikt yang mulai memakan pastanya, "bagaimana Sura?"

"Aku tidak menonton dengan Sura."

"Astaga, maksudku, bagaimana kabarnya? Aku sering melihatmu sibuk, namun kamu tidak menceritakan tunanganmu. Padahal biasanya kamu menceritakannya." Benedikt melanjutkan pertanyaannya dan melihat sedikit kerutan di wajahnya Fabian. "Apa semuanya baik-baik saja?"

"Sura baik, dia akan pergi ke India awal Desember." Fabian menjawab. Tadi pagi memang ia sudah melihat Google Calendar-nya Sura, meskipun ia belum tahu apakah Sura memesan penerbangan untuk orang kantornya atau memang ingin berlibur sejenak. Fabian berencana untuk menanyakan Sura saat waktunya senggang. 

"Wow, apakah Sura akan mengambil gambar di depan Taj Mahal seperti Princess Diana?"

"Tentu saja tidak. Itu terlalu muram. Taj Mahal selalu penuh dan tidak memungkinkan untuk mengambil foto yang bagus tanpa tambahan orang yang tidak dikenal." Fabian menjelaskan sepengetahuannya karena ia juga tahu konteks yang dimaksud.

Lelaki Jerman tersebut memilih untuk menganggukkan kepala dan memikirkan pembahasan lainnya. Sebenarnya ia juga menyadari sesuatu yang berbeda hari ini. "Alright, sebenarnya ada yang kuperhatikan juga hari ini—baru kali ini aku melihatmu datang ke kafetaria."

"Memangnya ada apa, Ben?" tanya Fabian yang sedikit heran.

"Bukankah biasanya mutti-mu mengirimkan kamu makanan atau kamu memesan pesan antar? Jujur, selama ini aku jarang melihatmu makan di kafetaria."

Ternyata tidak hanya dirinya, namun Benedikt juga menyadari apa yang Fabian lakukan hari ini merupakan hal yang tidak biasa untuk laki-laki yang biasanya diperhatikan oleh keluarganya. "Hari ini asisten rumah tangga mutti tidak mengantarkan makan siangku karena beliau cuti. Lagipula aku masih bisa makan beberapa makanan dari kafetaria ini, kok."

.

.

.

Setelah Fabian menyelesaikan pekerjannya, ia tidak langsung pulang ke apartemennya. Ia sudah berniat untuk mengunjungi orang tuanya dan berbicara dengan Bunda perihal penemuannya saat Fabian bertemu dengan Alexander. 

"Fabian? Kamu pulang ke rumah?" Sabine bertanya saat melihat putranya masuk ke rumah secara tiba-tiba seperti hantu. Sabine bisa terkejut karena biasanya Fabian akan mengirim pesan jika putra satu-satunya itu akan datang ke rumah. 

The Great ChancesWhere stories live. Discover now