140. Chatter

183 17 3
                                    

nas's notes: berhubung aku baru update lagi setelah beberapa minggu penuh kesedihan, boleh minta tolong untuk vote part ini (dan part sebelumnya) sebelum baca part ini? aku ingin tahu siapa saja yang masih nungguin cerita ini. terima kasih sebelumnya :")

anyway, selamat membaca yaaa!!

Jakarta, Indonesia
February 2027

Tangan Rayan langsung mengetuk kaca mobilnya Sura dengan perlahan agar tidak mengejutkan Sura yang sedang melamun memandangi jalan tol yang dilintasi oleh kendaraan. Ia berdiri di luar sembari memegang payung berwarna hitam. Akhirnya ia menyingkirkan gengsinya dan membuat Sura terbangun karena suara ketukan kacanya Rayan.

"Rayan?" ucap Sura setelah menurunkan kaca mobilnya.

"Hai Sura, Fabian memintaku untuk mengurus mobilmu. Kusarankan untuk sekarang kamu pulang sama aku dan mobilmu akan diurus oleh ajudan ayah. Nanti kalau mobilmu sudah benar, aku akan menghubungimu lagi."

Sura menengok ke bagian belakang mobilnya dan pandangannya menangkap dua mobil lainnya yang berhenti—mobil Rayan dan mobil dari ajudan ayahnya. Pikirannya tampak mencerna dua kemungkinan yakni 1) ia bisa istrahat lebih awal setelah diantar pulang oleh Rayan atau 2) ia meminta Rayan untuk pulang dan Sura bisa menelepon layanan darurat dari jalan tol tersebut.

"Tolong kali ini ikuti saja, Sura. Sekarang sudah larut malam dan aku akan membawamu pulang. Bawa barang-barangmu dan biar ajudanku yang mengurus mobilmu."

Ya, tidak ada salahnya menerima bantuan Rayan. Lagipula Fabian sudah meminta Rayan untuk membantunya sebagai teman terdekatnya

"Alriiiiighttttt," balas Sura sembari mempersiapkan dirinya keluar dari mobilnya.

Dengan cepat, Sura mengambil barang-barang yang harus ia bawa bersamanya dari mobil. Saat perempuan muda tersebut membuka pintu depan mobilnya Rayan, ia melihat barang bawaan Rayan yang cukup banyak. Ia langsung berpindah tempat duduk di bagian belakang. Rayan yang baru memasuki mobil langsung mengurungkan pikirannya untuk mendumeli Sura karena ia sendiri belum memindahkan buku-buku dari bagian depan kursinya. Tak berpikir panjang, Rayan langsung melajukan kendaraannya.

Sembari menyetir, Rayan berusaha untuk mengambil jalur yang masih dilalui oleh kendaraan yang berlalu lalang. Saat melewati kawasan Senayan, Sura tampak melebarkan matanya untuk melihat lampu-lampu yang saling menerangi satu sama lain. Mobil sudah pasti penuh dengan percakapan jika Sura pergi dengan Fabian, keluarganya, atau teman-temannya. Kali ini, Sura tak dapat memulai percakapan kecil dengan Rayan dan Rayan yang tampak mencari bahasan untuk berbasa basi dengan Sura.

"Kenapa kamu memilih untuk menjadi dokter?" Sura membuka obrolan dengan pertanyaan yang terlintas di kepalanya.

Rayan tak salah dengar. Akhirnya ia mendengar Sura menanyakan dirinya. "Sejak awal aku memang ingin menjadi dokter, namun almarhum mama kandungku seorang dokter dan beliau terkena penyakit autoimun—makanya itulah kenapa aku memilih untuk menjadi dokter spesialis bedah saraf."

Mama? Sura membatin begitu ia mendengar jawaban Rayan atas pertanyaannya barusan."I'm sorry, I didn't know."

"That's okay. Aku tidak banyak menceritakan soal mamaku karena beliau meninggal saat aku masih kecil, bahkan Fabian tidak tahu karena dia tidak pernah bertanya pertanyaan yang sama denganmu," jelas Rayan sembari tetap menyetir kendaraannya, "saat mama masih hidup, beliau mengajakku dan kakak adikku pergi ke Solo untuk melihat keluarganya. Setelah mama meninggal dan ayahku menikah dengan ibu, aku merasakan hidupku berubah, namun ayah berusaha untuk mengajak kami untuk pergi ke Solo agar tetap dekat dengan keluarga mama."

Perempuan muda tersebut terdiam dan memikirkan reaksi yang baik. Terakhir ia melihat ibu Rayan dan Sura bertanya-tanya karena Rayan dan ibunya itu tampak berbeda dari rupa dan sifat. Ternyata ia sudah mendapat jawaban atas rasa penasarannya—meskipun Rayan tak menjelaskannya secara detail. "Kamu dan kakak adikmu pasti punya kenangan yang menyenangkan sama mamamu, ya?"

Meskipun Rayan masih fokus membawa kendaraannya, namun ia menanggapi dengan anggukkan kepala. "Ya, aku merindukannya." Rayan menyahuti ucapan Sura yang dilanjutkan dengan jeda hingga Rayan menghentikan kendaraannya di lampu merah. "Anyway, aku minta maaf soal apa yang kamu dengar saat terakhir bertemu dengan ibu."

Sura merautkan dahinya karena tidak semestinya Rayan meminta maaf mewakili ibu, terutama atas apa yang mereka dengar waktu itu. "Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan, namun aku bingung. Tetap saja aku harus menerima permintaan maafmu. Terima kasih, Rayan."

"Aku yang seharusnya terima kasih, Sura."

Begitu sampai di rumahnya, Sura berpamitan dengan Rayan dan pergi menuju kediamannya. Rayan sendiri tak langsung menyalakan mesin kendaraannya karena ia masih memandangi rumah tersebut. Lagi-lagi ia ingat bahwa ayahnya sekaligus Presiden Republik Indonesia sejak 2019, Andhika Pradana, pernah bercerita soal almarhum mama setelah pertemuan Rayan dan ayahnya dengan Remus Wiradikarta saat masih menjadi menteri di kabinet untuk periode 2019-2024.

"Saat mamamu hamil Nilam, beliau sering datang ke rumah keluarga Wiradikarta untuk minum teh dan makan kue. Bu Agnia senang sekali jika mamamu datang karena putra dan menantunya tinggal di luar negeri." Andhika mengatakan begitu ia menoleh ke rumah yang tidak berubah sejak ia melihatnya untuk kali pertama saat diajak oleh ibunya Rayan di tahun 1991—sebelum orang tuanya menikah. Saat berpamitan dengan Remus, pria itu ingin mengantarkan mereka ke gerbang depan, namun Andhika menolak karena ingin mengobrol dengan putranya (Andhika benar-benar mengatakan itu dengan serius saat berpamitan dengan Remus).

"Ayah memang dekat sama keluarganya Pak Remus, ya?"

"Bisa dibilang begitu." Andhika berujar dan melangkahkan kakinya lebih lambat dari sebelumnya. "Mamamu yang mengenalkanku karena nenekmu bersahabat dengan Bu Agnia dan pamanmu yang berteman lebih dahulu dengan Remus. Semenjak mamamu meninggal dan aku menikah lagi, aku jarang berkunjung ke rumah ini untuk bertemu dengan Bu Agnia dan keluarga. Ibu tidak menyukai mereka."

"Kenapa Ibu tidak menyukai Keluarga Wiradikarta? Bahkan aku lihat ibu tidak bisa menerima teman-teman Ayah?"

"Ibu pernah berencana untuk meminjam uang dalam jumlah banyak dengan Keluarga Wiradikarta, namun langsung ditolak oleh Bu Agnia."

"Itu serius, Ayah?"

Pria berusia paruh baya itu hanya menganggukan kepalanya dan meninggalkan ekspresi tidak percaya pada wajahnya Rayan. "Ya, Rayan. Keluarga Wiradikarta memang orang kaya lama yang menikah dengan orang kaya lama lainnya, namun mereka tidak mudah meminjamkan uang ke orang lain kalau mereka tidak percaya sama orang tersebut. Jika kamu butuh dana cepat, kusarankan kamu untuk meminjam uang dengan Keluarganya Ibu Rania Airlangga."

Rayan hanya tertawa pelan. Mereka langsung menaiki mobil Mercedes Benz S600 Guard berwarna hitam—mobil kepresidenan. Andhika menginstruksikan kepada supir untuk mengantarkan mereka menuju ke salah satu hotel di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat untuk menghadiri agenda selanjutnya.

"Sebenarnya salah Ibu juga, namun sudah lama juga dan Bu Agnia serta Pak Remus dan Bu Ingrid sudah menerima permintaan maaf atas kesalahan ibu."

"Jika ayah sudah sampai minta maaf dengan Bu Ingrid, tampaknya permasalahannya sangat serius."

"Memang." Andhika menyahuti putranya dan mulai membuka ponsel.

TBC

Published at 24 February 2024

nas's notes: guys, part selanjutnya akan narasi karena masih berlanjut dengan obrolan Rayan dan Ayahnya. jangan lupa untuk vote part ini dan part sebelumnya yaaah! terima kasihh <3

The Great Chances [COMPLETE]Where stories live. Discover now