Gara-gara Ikan!

22.5K 2K 744
                                    

Hello!

Happy reading!

****

Abraham mengetuk kamar Meisya yang tak pernah terbuka sejak mereka sekeluarga kembali kerumah. Rasa pusingnya semakin menjadi ketika istrinya tak berhenti mengoceh, menyalahkannya. Padahal ini bukan ide yang buruk, harusnya emang harus mereka lakukan seperti ini.

Fawaz sudah menikah, mustahil bagi Meisya untuk memikat lelaki itu. Entah apa yang terjadi kedepannnya jika putrinya itu masih menetap di sana. Malu yang ada.

Maka dari itu ia coba membujuk, mengetuk dan memanggil sang empu. "Mei, putrinya Papa keluar sebentar yuk."

"Gimana mas, bagus kalau anak sendiri ngambek seperti itu? Demi anak mas, turutin aja apa maunya." Melly datang menghampiri suaminya, ia yang belum puas mengoceh dari tadi.

"Kamu bukannya larang malah di dukung." Abraham tak habis pikir dengan istrinya itu, ia mendengus sebal. Lelah juga menghadapi dua perempuan yang keras kepala.

"Mau kemana?" tanya Melly menyusul langkah suaminya yang meninggalkan kamar Meisya.

"Kantor."

"Nanti malam siapin makanan banyak, aku mau bawa tamu."

Tak ada persiapan apapun, Abraham meleset begitu saja dari rumah untuk ke kantor. Sejak tadi dia emang sudah rapi, namun ia sisihkan waktunya agar bisa membujuk sang putri. Namun usahanya sia-sia.

Ayah adalah cinta pertama bagi seorang perempuan. Namun sepertinya Meisya tidak menganggap itu, ia tak memperdulikan segala effort Ayahnya yang selalu memendam bentakan di dalam dada.

Jika menghadapi Meisya dan Melly, Abraham selalu menahan emosi. Memilih memendam daripada kelepasan dan membuat semuanya rumyan.

Melly melihat kepergian suaminya dengan hembusan nafas panjang. Ia tau, suaminya itu kecewa. Namun, mau gimana lagi, punya putri yang sikapnya seperti Mei harus di maklumi. Begitu menurutnya.

Meisya adalah anak satu-satunya, setelah anak pertama meninggal saat masih umur balita. Maka dari itu, Meisya ia manja sedemikian rupa. Ia akan pasang badan jika ada yang membuat putrinya sedih.

Ketukan pintu terdengar kembali dari kamar Meisya. Yang punya kamar malah asik dengan ponselnya.

"Mei.."

Itu suara mamanya.

"Papamu udah pergi, kamu ngambek juga sama Mama? Keluar dulu makan, nanti kamu sakit…sayang."

Perut Meisya terasa keroncongan, karena itu ia buka pintu dan di sambut oleh pelukan mamanya.

"Mama harusnya bantu aku biar jadi istrinya Fawaz, Ma. Singkirin Qila."

Melly melepas pelukannya. Ia terdiam sejenak. "Nanti kita pikirin itu, ayo Mama udah siapin makan."

Sebenarnya itu hanya bujukan belaka, Melly gak ada ide. Ratna juga pasti begitu tak terima jika seperti itu, akhirnya Meisya nerima dengan senyum lebar.

Bahkan keduanya jadi banyak waktu bersama, seperti sekarang ini keduanya malah keluar untuk shoping berdua sesuka hati hingga sore. Sampai keduanya berakhir di dapur karena sudah mau malam.

Sekali lagi, Melly memakai embel-embel Fawaz agar anak perempuannya itu mau belajar masak. Melly bilang.

'Bantuin Mama masak, supaya pinter, kamu mau jadi saingan Qila gara-gara ini? Kayaknya Fawaz suka cewek yang pintar masak kan?'

Akhirnya dengan bujukan itu keduanya berkutat di dapur. Melly menatap sayu ke arah Meisya yang nampak semangat, entah alasan apalagi nantinya yang akan dia janjikan.

Pemuda ApelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang