Abel: Prolog || Short Ver.

178K 7.3K 1.2K
                                    

Versi tanda tangan hanya isa dibeli di Shopee: Andhyrama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Versi tanda tangan hanya isa dibeli di Shopee: Andhyrama

Harga Rp79.000 diskon 15% menjadi Rp67.150

Jika tidak punya shopee bisa pesan melalui nomor: 0896-8737-8077

Versi non-ttd bisa dibeli di toko-toko buku baik online maupun offline.

***

Ini adalah versi lama yang belum diedit, berbeda dengan versi buku yang sudah direvisi dan lebih lengkap.

****

Aku sangat menyukai rumahku. Alasannya bukan karena keluargaku sangat rukun, bukan karena kakakku sangat baik, bukan karena rumahku bagus dan banyak barang-barang mahal yang tidak boleh disentuh sama orang sembarangan. Tapi karena di rumah aku merasa paling kurus.

Ayahku 91 kilogram, ibuku 89 kilogram dan kakak laki-lakiku 109 kilogram. Aku hanya 87 kilogram, aku tertawa terbahak-bahak melihat foto keluargaku di mana aku yang paling unyu dan paling imut, paling kecil dan paling menggemaskan. 

Tapi, di sekolah. Aku akan jadi yang paling gendut di kelas. Aku yang menjadi barang ocehan dan semuanya manggil aku dengan kata 'Ndut' itu menyebalkan. Apalagi Albi mentang-mentang dia jangkung dan kurus dia menertawaiku dan sering menepuk-nepuk lemakku yang indah.

Albi menyebalkan! Dia yang paling aku benci di kelasku. Tapi aku tidak mau cerita hidupku menjadi seperti sinetron di mana benci jadi cinta. Jadi aku tidak akan membencinya, dan memang aku tidak membencinya, aku menyukainya. Walaupun dia nakal tapi aku akan kangen kalau dia tidak masuk.

Dan hari ini aku menunggunya datang, dia tukang telat. Dia tidak mungkin datang sepagi ini. Pukul setengah tujuh pagi. Aku berangkat bersama kakakku yang sekarang mengajar di universitas sebelah, ya letaknya tak jauh dari sekolah ini.

"Ndut, kamu mau ikut arisan ngga?" tanya Didi, cewek paling semok sekelas ini. Sumpah deh dia seperti ibu-ibu, bedaknya tebal dan lipstick-nya menor. Tapi sepertinya tubuhku jauh lebih ibu-ibu darinya. 

"Arisan apaan Mok?" tanyaku.

"Mok?"

"Semok!" ucapku tenang.

"Eh, nih anak udah gendut kayak kuda nil berani-beraninya ngatain aku semok, emang aku cewek apaan!" ucapnya marah langsung menggebrak meja.

"Eh biasa aja kali, aku tanya baik-baik jawabnyannya kayak gitu, dasar menor!" ucapku langsung marah.

"Nih anak!" ucapnya langsung menjambak rambutku.

"Lepasin dasar ibu-ibu menor!" ucapku sembari mencoba melepaskan tangannya dari kepalaku.

"Heh tonton nih! Didi sama Abel berantem!"

Karena aku tidak terima aku juga ikut menjambak rambutnya. Akhirnya kami berantem ria, jambak-jambakan dan cakar-cakaran, guling-gulingan dan tampar-tamparan. terdengar suara tepuk tangan menggema saat kuda nil dan tapir bertarung di selasa pagi.

"Dasar babi guling!" teriaknya.

"Dasar babon kegatelan!" teriakku tak mau kalah saat masih guling-gulingan di lantai depan papan tulis.

"Endut! Semok! Endut! Semok!..." teriakan anak-anak masih menggema.

"Woy kalian ga nyadar body yah pake acara berantem?" suara tengil Albi menggema.

Aku segera mendorong Didi yang notabenya lebih kurus sepuluh kilo dariku dengan mudah. Kami berdua kemudian bertatapan seperti dalam film-film, tatapan penuh dendam dan amarah. Tunggu pembalasanku, Didi menor!

Aku menoleh ke sekeliling, Albi terlihat tertawa bersama anak-anak lelaki yang lain, sementara cewek-cewek sok baik membantuku berdiri, padahal tadi mereka ikut tepuk tangan saat aku berantem, Dasar cewek-cewek munafik. Albi pakai acara tertawa terbahak-bahak kayak pahlawan bertopeng lagi. 

"Tayangan ulang dong! Aku ngga lihat versi full-nya nih!" teriak Albi langsung mendapat sambutan tawa dari yang lain.





Ini Cinta, Ndut! [TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang