45 - Campur Tangan Tuhan

2.2K 418 37
                                    

Tiara diam seribu bahasa setelah mendengar ternyata Inayah tidak mau jadi ibunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiara diam seribu bahasa setelah mendengar ternyata Inayah tidak mau jadi ibunya. Anak itu menyantap roti selai stroberi tanpa mengajak papanya bicara. Ahsan tidak mengira efeknya akan seperti ini.

"Jangan ngambek, dong, Tiara. Papa bingung kalau kamu diem aja." Ahsan mencoba mengajak Tiara bicara.

Tiara bergeming. Masih meminum susu.

"Nak, nggak semua yang ada di dunia ini harus sesuai sama keinginan kita. Tiara harus siap kalau misalnya nggak ngedapetin apa yang Tiara inginkan. Tiara boleh sedih, boleh kecewa, tapi jangan sampai tumbuh rasa benci, ya. Kita hargai keputusan Tante Inayah."

Alih-alih membalas ucapan papanya, Tiara justru mengambil ransel sekolahnya dan melangkah meninggalkan Ahsan.

Ahsan mengusap wajahnya, lalu menarik napas panjang. Jujur, dia sama seperti Tiara, merasakan kecewa. Namun, dia bisa apa? Inayah belum bisa berdamai dengan kondisinya. Inayah belum bisa memberikan kepercayaannya. Bukannya tidak mau berusaha, tetapi dinding orang yang masih ragu-ragu itu sulit untuk ditembus. Hanya orang itu sendiri yang memilih ingin keluar atau tidak.

Di saat pikirannya kalut seperti ini, Ahsan butuh seseorang untuk melerai benang-benang di dalam kepalanya. Awalnya dia ingin konsultasi ke Dokter Juan lagi, tetapi entah kenapa justru nama Melisa yang muncul di ingatan. Jari Ahsan bergerak mencari nomor adiknya itu.

"Mas? Tumben telepon pagi-pagi?" tanya Melisa usai teleponnya diterima.

Ahsan mengulum bibir. Duduk di sofa. "Kamu masih di Semarang?"

"Nggak. Aku kemarin sore pulang soalnya aku nggak sama anak-anak perginya."

"Lho, terus selama kamu pergi, anak-anak sama siapa?"

"Sama pengasuhnya. Mas Candra juga lagi terbang."

Setelah itu hening. Ahsan masih bingung merangkai kata untuk memulai cerita. Jujur dia malu. Kemarin Melisa ingin membantu, tetapi ditolak. Sekarang giliran dapat penolakan, malah mau minta pendapat adiknya.

"Mas itu ada apa telepon Mel? Mau ngasih duit, ya?"

Ahsan mendengkus. "Kamu udah punya duit masih aja minta."

"Ya, habis Mel heran kenapa Mas tiba-tiba telepon. Oooh, Mel tahu sekarang! Pasti mau ngomongin Inay, ya? Ayo, ngaku!"

Pria itu kembali menghela napas. Baru mendengar namanya saja sudah membuat hatinya ketar-ketir. "Mas ditolak sama dia, Dek."

"Eh? Waduh. Alasannya apa, Mas?"

"Dia nggak mau nyakitin mas karena penyakitnya."

"Emang Hanung kutu kupret sialan!" umpat Melisa tiba-tiba. "Mas, jauh sebelum pacaran sama Hanung, Inayah itu orangnya optimistis banget. Dia yakin segala usahanya pasti berbuah manis. Ya, makanya aku bisa cocok temenan sama dia karena kita emang punya kesamaan. Tapi, itulah, gara-gara cowok berengsek yang mikir cewek itu mesin pencetak anak dan batalin nikah padahal persiapan udah jalan, Inayah jadi berubah. Pas awal-awal terapi, dia juga hampir nyerah, apalagi dapet sedikit dukungan dari keluarganya. Terus aku bilang sama dia 'Nay, coba ngelakuin ini buat diri sendiri, bukan karena orang lain. Kamu sendiri nanti yang ngerasain hasilnya', akhirnya dia mau lanjut."

Pelerai Demam - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang