Chapter 4

251 30 10
                                    

Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan tokoh
Hanya fiksi belaka

.

.

.

.

Kim Junkyu

Kanemoto Yoshinori

.

.

.

.

BxB

Fanfiction, Fantasy, Romance

Typo(s) bertebaran

Typo(s) bertebaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Susan tidak mengajaknya pergi untuk makan malam, mungkin gadis itu masih menanam rasa dongkol pada David. Cowok itu agak—sedikit—merasa bersalah juga aslinya. Sambil berganti pakaian yang selalu dia bawa ke ruang bawah tanah, David merasa kasihan kepada Susan yang ribut mengurus tektek bengek tentang keluarga mereka. Sejak orang tua mereka tidak lagi duduk di dua singgasana berlapis kain beludru ungu dan emas yang menyiram tangan kursi, keadaan rumah menjadi rumit dan kacau. Seharusnya Susan dan dirinya menjadi satu-satunya pemberat agar timbangannya seimbang. Alih-alih David lari tanpa menoleh ke belakang; meninggalkan Susan sendirian, susah payah membuat neraca itu kembali konstan. Dia mendengus antara sebal dan ingin melenyapkan denyut perih di dadanya.

Tiada jas putih berkerah lagi, David hanya memakai sweatshirt abu-abu berkerah hitam. Deer Valley cukup kuno untuk menerapkan seragam setiap waktu bagi para muridnya. Walau begitu, David tidak masalah dengan warna pakaian yang ditentukan untuk murid kelas Dalam. Kakinya yang panjang dibungkus oleh celana kain hitam. Sepatunya menyanyikan lagu menegangkan diantara dinding gedung sekolah yang hanya batu alami telanjang. Satu-satunya penerangan di lantai paling dasar hanya lampu kuning tak berenergi seterang pada kelas-kelas paling atas. Dia meniti tangga satu persatu—atau melompati dua anak tangga sekaligus dengan tungkainya yang jenjang. Lantai kelas Tengah paling bawah—yang nanti menyambung dengan kelas Dalam—pas sekali dengan tanah untuk berpijak. Hal ini menguntungkan semua anak kelas Tengah untuk keluar-masuk sekolah dengan mudah dibandingkan dengan kelas Permukaan, dimana harus menaiki tangga terlebih dahulu karena kelas-kelas keren mereka ada dipucuk gedung sedangkan untuk kelas Dalam diberikan ruangan minim cahaya matahari karena letaknya ada di bawah tanah.

David tidak begitu lapar dan berkeinginan bertemu dengan orang-orang lain. Jam malam masih lama berdentang, dia memustuskan untuk pergi sekedar mencari keheningan. Meskipun asrama kelas Dalam tentu saja sepi manusia, tak dipungkiri David lebih suka menatap rembulan diantara langit malam yang luas; diantara pepohonan pinus dan suara aneh dari makhluk-makhluk misterius di dalam hutan sana. Rerumputan panjang menggelitik kulit kakinya yang tak tertutupi kain celana. Dingin menerobos ikatan rapat antar benang pakaiannya. Jauh di belakang rumah kaca, ada gazebo muram dipenuhi tumbuhan merayap. Sesekali bahkan ketika ada waktu dengan Susan, David suka mampir ke sana hanya untuk mencium aroma dedaunan. Tiada banyak murid-murid yang suka datang, mengobrol sampai gelak tawa mereka terdengar oleh Pohon-pohon Mengeluh. Bagi anak kelas Permukaan, lapangan latihan dan lahan luas di sebelah timur perpustakaan merupakan spot paling menyenangkan daripada menyediakan waktu bersama kelompok kerenmu di bawah gazebo tua yang menyedihkan.

"Oh," sekonyong-konyong bibirnya mengulas senyum simpul namun, tetap terlihat pada wajah David bahwa dia amat sangat tidak menyangkan bahwa ada seseorang menduduki bangku kesukaannya.

Diantara gelapnya malam dan sinar bulan bersinar redup, merahnya cahaya lampu minyak membantu David mengenali seseorang di sana. Langkahnya sama sekali tidak berhenti untuk mendekat. Semakin obsidiannya menangkap dengan jelas; kaos hitam lengan panjang dan celana hitam pendek, tanpa hiasan apapun di sana, semakin lebar punya senyuman David.

Lampu minyak itu bergoyang karena sang empunya terkejut melihat kedatangan David dari ekor matanya.

"Sedang apa... kamu di sini?"

"Tuan muda sendiri?"

Gelap yang mengelilingi meraka sama sekali tidak berguna dalam menutupi rona merah jambu yang merayap di pipi orang itu dan senyum miring yang disungging oleh David.

"Aku tidak lapar dan ini tempatku saat butuh udara malam agar bisa tidur nyenyak." Ujar David. Dia kemudian duduk pada bangku panjang yang beberapa permukaannya sudah berkarat.

"Ka-kalau begitu, maaf mengganggu. Aku akan pergi—"

Tulang tangan itu terasa kecil saat David memeluknya dengan jari-jarinya yang panjang. Bisingnya Pohon-pohon Mengeluh dan gemerisik dedauan ditiup angin tak menutupi apapun apalagi napas tercekat Tuan Muda di hadapannya dan degup jantung yang datang tiba-tiba seolah-olah terganggu oleh pergerakan tangannya. David membuang wajahnya ke arah lain sambil perlahan melepaskan cengkramannya, "Di sini cukup gelap, kamu tahu? —"

Tatkala David mendongakkan kepala. Dia sama sekali tidak menyangka si Tuan Muda menampilkan ekspresi yang membuatnya kembali melemparkan pandangan. Terkesiap dan menggemaskan.

"Kenapa?"

"Kembali duduk saja di sana,"

"Kamu bilang aku mengganggu."

"Ha? Kapan?"

Tepat di depan kedua matanya, David menyaksikan orang itu memajukan bibirnya sambil menggaruk kepala seperti sedang mengingat lagi kalimat-kalimat yang terucap dari mulutnya. "Duduk saja sana." Titahnya. Dia gusar.

Keramaian dari mereka berdua meredup di telan ributnya angin malam dan keluhan Pohon-pohon di sebelah selatan sana. Tiada di antara mereka berinisiatif agar malam menjadi lebih ramah dan hangat. Sesekali (atau lebih dari sesekali) David mencuri pandang menggunakan ujung matanya. Sejujurnya, dia agak tak menyangka ada murid lain yang ingin mengunjungi gazebo tua tak terurus, terlebih saat matahari tengah libur dari jam kerjanya.

"Itu... sebenarnya, yang tadi siang, terimakasih."

Oh, ternyata anak itu manis juga.

Senyum miring tanpa sadar hadir pada garis bibir David.

"Apa? Bicaralah lebih keras."

Samar-samar David bisa melihat rona semerah delima memenuhi seluruh kulit wajah orang di depannya dan orang itu mengedipkan matanya berkali-kali. Dagunya terangkat tinggi, punggungnya yang lebar menempel pada punggung bangku berkarat dengan santai, kedua matanya bersinar jahil bersama dengan kesempurnaan senyum jahatnya. Cowok Galdra tidak pernah tahu ada manusia dengan salah tingkah selucu itu.

"Aku bilang—aku... berterimakasih."

Saat bola mata cokelat gelap itu berani menatapnya, senyum David semakin mengembang. "Sama-sama, Tuan Muda."

Walaupun dirinya jarang memunculkan batang hidung di muka umum, David tahu hal panas apa yang sedang terjadi di sekolah, dia tahu kabar burung yang dibicarakan dari mulut ke mulut oleh para murid, dia tahu guru paling disebalkan oleh para murid, dan dia juga tahu siapa orang di depannya. Semua orang membicarakan si Putra Mahkota yang cuma orang aneh bukannya bagian dari kumpulan orang-orang terhormat, Eðlilegra. Bahkan yang lebih parahnya, si Putra Mahkota belum bisa mengendalikan kekuatannya sendiri setelah empat tahun mengemban ilmu di Deer Valley.

Agak memalukan. Tapi, David jadi tertarik dan bisa dikatakan dia tahu segala hal tentang si Tuan Muda. Bahkan namanya, Jaden Dawnless, David hapal itu di luar kepala.

Jemarinya menganggur dan itu membuat genggamannya kosong. Beruntungnya David angin membawa beberapa daun terbang melewatinya. Maka tanpa berpikir dua kali, cowok itu menggerakkan kelima jarinya, menarik dedauan itu lalu memainkannya tanpa menyentuh mirip dalang boneka kayu. "Jadi Tuan Muda, seperti yang aku bilang sebelumnya. Kamu harus segera mengendalikan itu."

"Ku kira menyuruhku diam di sini artinya tidak mengangguku?"

Selembar daun oak hijau melayang-layang di udara. Menyentuh pipi putih itu dengan daun seolah-olah dia sedang membelainya secara langsung. Sebelum dengan jahilnya, David meniupkan angin kencang yang membuat Jaden mengerjap-kerjapkan matanya. "Aku bisa bantu. Kalau kamu mau."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love Story || KyuYoshiWhere stories live. Discover now