BULAN PERTAMA

100 53 5
                                    

"mas Tatang, AC di kamarnya Garto bocor lagi..."

Sebuah kepala tiba-tiba menyeruak keluar dari tembok dapur. Gerak-gerik dari si pelaku nampak mencurigakan, tatapan matanya terus menelusuri setiap sudut rumah.

"Yayah ngerokok?" Tanya ku,

Laki-laki itu tertegun, sepertinya kaget dengan kehadiran ku yang tidak beliau sadari.

"Enggak" balasnya memburu,

"Tapi muka Yayah kenapa panik?"

"Siapa yang panik!" Sela-nya.

"Oh ya udah sih, kalau ngerokok juga gapapa aku ga bakal bilang bunda juga"

Ayah menjauh, halaman belakang menjadi tujuan beliau sore ini.

"Kak, mas Tatang mana?"

Aku menghela nafas lelah. Rasanya sangat berat menggantikan peran bunda di rumah ini.

"Udah aku telpon tadi, mungkin masih di jalan" balas ku,

Garto hanya mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Biasanya pemandangan sore yang sering ku lihat adalah bunda yang sedang sibuk di dapur, tapi hari ini aku yang malah di sibukkan dengan tugas bunda.

Menyesal karena mengizinkan bunda ke Bogor bersama teman-teman arisannya, karena pergi nya beliau membuat aku harus mengemban tugas extra di rumah.

Bel rumah berbunyi, itu mas Tatang.

Setelah mempersilahkan laki-laki itu masuk aku kembali sibuk dengan kegiatan ku di dapur.

Malamnya, Buncis menjemput ku kerumah. Aku dan dia sepakat untuk pergi malam Mingguan seperti Sepasang kekasih normalnya.

Tidak bisa ku pungkiri bahwa Buncis memang sebaik itu, entah dia sadar atau tidak yang jelas kadang sikap ku ke dia sudah menjadi kode betapa canggung nya aku berada di dekat laki-laki itu.

Sudah dua Minggu kami menjalin hubungan, dan malam Minggu ini adalah malam pertama kami melakukan kencan.

Sebenarnya ini tidak pantas untuk di sebut kencan, karena Buncis hanya meminta ku untuk di temani keluar demi mencari hadiah untuk mama-nya.

Mall di kota Yogyakarta  pada saat malam Minggu ternyata tak terlalu ramai oleh pengunjung. Di pikiran ku sebelum berangkat kesini, akan ada waktu dimana kami akan berdesakan di lorong mall.

Tapi semuanya nampak lancar, aku hanya mengikuti langkah Buncis dari belakang sembari menarik ujung baju kaos yang dia kenakan.

Ada satu hal yang baru aku ketahui mengenai Buncis, jalannya ternyata tak sesantai itu. Satu langkah kaki Buncis setara tiga langkah kaki ku.

Kami masuk ke salah satu toko tas dengan merek terkenal. Aku langsung berpikir bahwa mama Buncis tipikal Mama-mama sosialita yang gemar mengoleksi barang-barang branded.

Aku sebenarnya bukan Tipikal perempuan yang gemar membeli barang-barang, satu-satunya hal yang aku koleksi hanya sepatu. Jadi tentang tas aku tak terlalu mengerti.

Buncis banyak bertanya malam itu dan itu juga pertama kalinya Buncis berbicara banyak kepada ku, biasanya jika bukan aku yang memulai membuka suara laki-laki itu akan tetap bungkam.

Setelah mendapatkan apa yang sepertinya cocok dengan sang mama, aku dan Buncis meninggalkan tempat itu. Motor Buncis membawa kami ke daerah street food di sekitaran sana.

Setelah mencari tempat parkir, kami berjalan-jalan mengelilingi tempat itu. Hal yang menurut orang mungkin biasa, tapi ini jelas berbeda karena Buncis dan aku adalah pasangan baru yang tak terlalu mengerti tentang kencan yang benar.

Bercerita Kepada Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang