Malam dan ceritanya

39 24 1
                                    



Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sekolah Garto. Biasanya jika Garto berbuat ulah, laki-laki itu akan meminta bantuan bunda untuk menyelesaikan nya. Tapi kali ini pihak sekolah malah menghubungi nomor ku, bukan menghubungi nomor telepon rumah.

Setelah berbincang banyak dengan guru BK Garto, aku keluar dari ruangan menyesak kan itu. Guru BK Garto bilang kalau laki-laki itu berkelahi dengan teman sekelasnya. Untuk alasannya sendiri guru BK tidak tahu, menurut teman-teman sekelas Garto yang menjadi saksi, Garto tiba-tiba memukul lebih dahulu lalu di balas lah karena temannya merasa tak terima.

Aku menghampiri Garto yang duduk di kursi tak jauh dari ruang bk, di sampingnya ada banu- teman sekelas Garto yang sering kali menampakkan batang hidungnya di rumah.

Wajah Garto benar-benar kacau, bekas bogeman yang dia terima tepat di matanya membengkak dan membiru.

Bukannya kasihan aku malah memakinya karena kesal.

"Makasih ya Nu udah nemenin Garto, ini Garto nya harus dibawa pulang" jelas ku, Banu mengangguk kecil.

"Sama-sama kak Jun, kalau gitu aku balik ke kelas ya..."

Setelah Banu menghilang dari sana aku duduk di samping Garto.

"Aku harus bolos kuliah gara-gara kamu" ujar ku, mengingat saat di kampus tadi aku harus buru-buru meninggalkan Doro yang sedang menjelaskan sampai mana tugas kelompok kami.

Doro pasti akan memaki ku habis-habisan karena masalah ini lagi.

Garto tetap tak bergeming,

"Kalau aku kasih tahu bunda tentang kelakuan kamu gimana?"

Garto yang awalnya tertunduk langsung mendongak dan menatap ku " jangan!" jerit nya.

Aku hampir tersedak oleh ludah ku sendiri ketika Garto membalas cukup kencang.

"Ya udah sih santai aja"

Dia kembali tertunduk.

"Tapi to, melampiaskan semua rasa marah kamu ke orang lain, itu jelas salah."

"Aku gak suka satu sekolah sama dia kak"

Dia? Siapa yang Garto maksud--ah aku lupa tentang Anggi yang di pindahkan ke sekolah yang sama dengan Garto.

"Terus apa hubungannya sama orang yang kamu pukul?"

Dia terdiam, tangan Garto bergerak membersihkan bercak darah yang sudah mengering di tangan nya. Itu pasti darah orang yang Garto pukul.

"Maaf..."

Kalau tidak salah, aku pernah bilang tentang kata maaf yang keluar dari mulut Garto. Laki-laki itu memiliki ego yang besar, ia tidak akan mungkin merendahkan harga dirinya dengan meminta maaf lebih dulu. Tapi sekarang, adik ku ternyata sudah dewasa.

"Ayo pulang, luka kamu kayaknya harus di kompres biar gak tambah bengkak"

🌧️🌚🌚🌚🌧️

Bukan di rumah ayah, tapi sekarang aku sedang berada di apartemen Buncis bersama Garto. Laki-laki itu selama perjalanan pulang selalu mengeluh meminta untuk dibawa kabur dari rumah.

Mau tidak mau, aku harus menghubungi Buncis dan meminta izin membawanya ke sana. Syukur, Buncis tak banyak bertanya saat dia melihat wajah Garto yang habis babak belur karena ulahnya sendiri, aku hanya bilang bahwa Garto sedang bermasalah dengan teman sekelasnya dan Buncis mengerti.

"To, masa-masa remaja kayak kamu ini memang masa paling susah buat ngatur emosi" kata Buncis, dia melirik Garto yang sedang duduk di sampingnya-bermain PS di ruang tamu apartemen Buncis.

Dari arah dapur yang memang terletak bersebelahan dengan ruang tamu, aku hanya memperhatikan dua laki-laki itu dari jauh. Obrolan yang di mulai Buncis tadi membuat ku tertuju sepenuhnya ke arah mereka berdua.

"Abang gak tahu masalah kamu apa, tapi menyelesaikan masalah dengan kekerasan gak akan pernah berhasil, itu malah akan menambah masalah baru" ucap Buncis,

Tangan Garto yang memegang stik PS bergetar, aku malah merasa enggan mendekat untuk menenangkan. Garto harus belajar menjadi dewasa, dia tidak mungkin akan terus berada di masa sekarang.

Dunia akan tetap berjalan, seperti apapun masalah dan keadaannya, dunia tidak akan mungkin berhenti untuk sekedar bersimpati atas apa yang laki-laki itu alami. Garto harus tahu bahwa dunia memang sekejam itu atas hidup seseorang.

"Abang boleh cerita?"

Garto mengangguk pelan.

"Dulu, waktu seusia kamu. Abang selalu melampiaskan amarah ke orang-orang terdekat. Seperti di lingkungan sekolah, gak ada satupun orang yang mau berteman dengan Abang" ucap Buncis,

Dahi Garto bertaut, "alasannya?"

"Karena sering berantem. Bukan cuma sama siswa tapi guru juga"

Tangan ku berhenti mengaduk kopi saat mendengar hal itu, sangat di luar prediksi kalau Buncis memang suka melawan di masa SMA nya dulu.

"Menjadi laki-laki brengsek itu bukan suatu kehormatan, To" ucap nya.

"Semuanya di luar kendali ku bang" kata Garto, aku menghela nafas dan mendekat ke arah mereka berdua sembari membawa kopi untuk Buncis dan jus alpukat untuk Garto.

"Jadi maksudnya kamu gapapa di kendalikan terus sama emosi kamu?" Sahut ku, Garto langsung menatap ku dan mematung.

Dia terdiam lama, matanya terpejam dan desahan halus keluar dari bibir Garto, mungkin luka bogeman di matanya nyeri.

Cukup lama terdiam, akhirnya Garto menggeleng, "maaf kak".

Setelah mengatakan itu, stik PS yang berada di tangan Garto terlepas. Dia menangis dan memeluk ku erat. Bukan hanya Bunda, ternyata suara tangis Garto juga berhasil membuat hati ku tersayat. Ingin sekali rasanya melindungi mereka, aku sangat sengsara ketika melihat orang-orang tersayang ku harus menangis seperti ini.

Di samping kami masih ada Buncis, aku menatap laki-laki itu. Dan hal di luar dugaan terjadi, dia mendekat dan menepuk punggung Garto dengan satu tangan dan tangan sisanya ia gunakan untuk mengelus tangan ku.

Melihat mata teduh Buncis membuat air mata ku yang tadi ingin meluruh malah tertarik kembali. Jujur malu kalau membahas sebuah masalah dengan Buncis, karena aku tahu bahwa masalah yang Buncis hadapi juga tak kalah besar. Membagi sakit dengan nya bukanlah hal benar, Buncis sudah terlalu hancur untuk di suguhkan luka lagi.

Laki-laki itu sampai detik ini bertahan sendiri, tak ada tempat yang bisa ia jadikan sandaran bercerita, semuanya Buncis lawan sendiri. Hanya sendiri.

Dan menurutku, kesendirian itu adalah sesuatu hal yang menakutkan. Aku tidak akan pernah berani membayangkan jika tak ada bunda atau Garto tempat ku berbagi kesah setelah hari-hari yang panjang, tak ada kata penenang dan tak ada elusan lembut di tangan seperti saat ini.

Buncis maaf karena baru sadar bahwa ternyata selama ini kamu berusaha keluar dari gelapnya lampu kamar, maaf karena tak bisa membuka pintu agar kamu bisa keluar dan menemukan cahaya mu sendiri.

Maaf telat menyadari bahwa selama ini kamu telah terluka parah dan sembuh tanpa di obati. Dan terimakasih karena telah bertahan tanpa ada lengan tempat mu bertumpu setelah hari-hari yang menyengsarakan.

Kamu hebat, Buncis.

🌧️🌚🌚🌚🌧️


Bercerita Kepada Malam Onde histórias criam vida. Descubra agora