Malam dan ceritanya

59 36 1
                                    



Hujan lagi...

Sudah tiga hari Buncis tidak ada kabar, ponselnya sudah berusaha ku hubungi tapi tak ada respon balik dari laki-laki itu. Tak ada pesan SMS atau WA dari nya.

Aku kesal sebenarnya, momen seperti ini harusnya bisa ku jadikan alasan untuk mencari kesalahan Buncis, lalu dengan cara itu aku bisa meminta putus dari nya.

Habis kuliah, niatnya aku ingin menghampiri Buncis ke apartemen laki-laki itu, tapi hujan ternyata turun.

Mungkin menunggu hujan reda akan menghabiskan waktu yang banyak, derasnya rintik hujan yang mengguyur kota Yogyakarta siang itu membuat tubuh ku menggigil karena dingin.

Setelah taksi yang ku pesan memasuki area kampus, aku berlari menerobos hujan tanpa ragu. Basah sedikit bukanlah sebuah perkara besar, yang terpenting saat ini aku harus bertemu Buncis.

Laki-laki itu tiba-tiba menghilang di telan bumi, semua teman kuliahnya sudah ku tanyakan satu-satu bahkan Kakak tingkat ku yang kebetulan teman nongkrong Buncis di parkiran juga ku tanyakan, tapi jawaban mereka tetap sama. Yaitu tidak tahu.

Buncis udah absen tiga hari dari mata kuliahnya. Dan hal itu membuat ku semakin khawatir, setahu ku Buncis adalah tipikal mahasiswa yang anti bolos kelas.

Aku harap Buncis baik-baik saja dan semoga laki-laki itu ada di apartemen nya hari ini.

Aku ingin bertemu Bun.

Tiba di area parkir apartemen Buncis, hujan tetap belum mereda. Bahkan derasnya hujan itu menusuk kulit saat aku turun dari taksi.

Aku berlari memasuki gedung itu, lalu memasuki lift dan memencet nomor lantai apartemen Buncis.

Tepat di hadapan pintu apartemen Buncis, aku berdiri mematung di tempat. Setitik demi setitik air hujan yang membasahi tubuh ku menitik ke lantai.

Aku di buat bingung sendiri dengan sikap ku sekarang. Mengapa aku harus perduli dengan Buncis? Status pacaran ini kan hanya sebatas permainan yang ku ciptakan sendiri, harusnya aku tak serius menjalani nya.

Harusnya aku tak ada disini, harusnya sebelum menginjakkan kaki di sini aku berfikir ratusan kali.

Buncis hanya tak berkabar tiga hari, HANYA TIGA HARI. Itu bukan waktu yang lama untuk merindukan hadirnya bukan?

"Jun?"

Panggilan itu mengalihkan ku dari setitik air yang turun menyentuh lantai.

Aku memperhatikan laki-laki itu, menatap dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

Buncis kacau. Wajah laki-laki itu berbeda.

Luka memenuhi sebagian wajah Buncis, luka yang sudah nampak membiru yang tiba-tiba membuat ku teriris.

Plester bertengger Manja di hidung mancung laki-laki itu, sudut bibirnya terdapat luka sobek yang terlihat masih basah. Sepertinya semua luka itu baru kemarin terjadi.

"Kamu kesini hujan-hujanan?" Kata nya, tangan Buncis mengusap wajah ku yang basah karena air hujan.

Aku tidak tahu masalah apa yang laki-laki itu alami, tapi melihat lengan Buncis yang juga penuh dengan luka lebam membuat ku yakin bahwa kemarin telah terjadi hal buruk.

Buncis tersenyum, lesung Pipit nya terbentuk sempurna.

Bisa-bisanya dia tersenyum di saat keadaan nya seperti ini.

"Bun-"

"Kamu harus ganti baju Jun, takutnya nanti malah masuk angin" potong nya,

Buncis menarik ku masuk ke dalam apartemen miliknya, ia kemudian berjalan ke arah kamar dan keluar membawa handuk dan baju kaos miliknya.

"Mungkin bajunya kebesaran di kamu, tapi gapapa di pakai dulu buat sementara" kata Buncis,

Aku tetap mematung di tempat semula.

"Jun, kok diem?"

"Jangan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik aja Bun" ujar ku,

"Aku memang baik sejak ngeliat kamu ada disini"balasnya, " ganti baju dulu ya, setelah itu aku jelasin semuanya"

Aku meraih handuk dan baju yang buncis sodorkan lalu berjalan menuju kamar laki-laki itu.

Apakah berpura-pura baik-baik saja bisa menjadi sebuah kebiasaan? Jika iya, maka berpura-pura adalah kebiasaan Buncis. Ini akan menjadi fakta ke empat yang aku ketahui mengenai Buncis.

Benar yang Buncis katakan, baju itu ternyata kebesaran di tubuh ku.

Aku menjajakan kaki menuju ruang tamu, Buncis kemudian menghampiri dengan membawa susu coklat di atas nampan yang kemudian di letakkan di atas meja.

"Aku di keroyok" Tuturnya,

Mungkin bukan cuman aku yang akan kaget jika mendengar penuturan seperti itu, pupil mata ku langsung membulat sempurna saat otak memberikan kode untuk merespon.

Aku mendekat ke arah laki-laki itu, duduk di sampingnya sembari menuntut penjelasan lebih lanjut.

"Aku mencoba membela diri, Tapi satu lawan lima orang bukan tandingan yang tepat" dia berujar, tangan nya bergerak meraih coklat panas di atas meja dan menyodorkannya ke arah ku.

"Terus pelakunya?"

"Kasusnya udah aku serahin ke polisi, kamu gak usah khawatir"

"Itu pasti sakit banget" aku menunjuk ke arah wajah Buncis yang babak belur.

Dia tertawa kecil, telunjuknya kemudian menyentil ujung hidung ku dengan gemas.

"Kamu ngapain sih kesini hujan-hujanan? Gak takut sakit kah?"

Aku hampir meludahkan kembali coklat panas tatkala pertanyaan Buncis serasa mengintimidasi ku.

"ngotak aja! Tiga hari ngilang gak ada kabar, di pikir aku gak khawatir apa..." Gerutu ku,

"Jun, aku boleh minta di peluk gak?"

Belum sempat memberikan persetujuan, Buncis kemudian mendekat untuk menghilangkan jarak antara kita berdua, ia kemudian meringsuk dan memeluk ku erat.

Aku sedikit tersentak karena kaget dengan pelukan mendadak itu, apalagi dengan posisi yang sedang duduk seperti ini bukan lah posisi yang nyaman untuk berpelukan.

"Bun, aku sesak kalau kamu peluk kayak gini" komentar ku, dia malah tak perduli dan sibuk mengusap punggung ku pelan.

Bau alami tubuh Buncis, menyeruak hingga ke rongga hidung ku. Entah kenapa, tapi bau itu membuat ku semakin nyaman berada di pelukan Buncis. Tidak ada campuran bau-bau lain seperti parfum, yang ada hanya bau alami tubuh Buncis yang menenangkan. Serasa aku sedang berada di antara rumput ilalang yang bergoyang, udara segar yang menerpa halus wajahku menggambarkan bau tubuh Buncis.

"Kamu ganti parfum ya"

"Hah? Eh- iya" aku menjawab dengan gelagapan, bukan karena gugup melainkan parfum yang ku pakai hari ini adalah hadiah dari Gio. Parfum yang katanya Gio racik sendiri saat berada di Lombok kemarin.

Aku sudah berjanji pada Buncis untuk tidak menerima barang apapun dari laki-laki mana pun, jika Buncis tahu aku takut laki-laki itu akan merajuk seperti anak kecil lagi. Dan untuk membujuk Buncis juga bukan perkara mudah seperti membujuk anak kecil dengan memberi nya eskrim.

"Bun, udah. Aku sesak" kata ku, mencoba memberontak dari laki-laki itu,

"Bentar, lima menit lagi. Aku suka wangi parfum baru kamu" jelasnya,

Jika saja dia tahu parfum itu pemberian siapa, mungkin Buncis gak akan mungkin menempel seperti ini, dia pasti akan memasang wajah datarnya itu lagi.

🌌☁️🌚🌚🌚☁️🌌

Bercerita Kepada Malam Donde viven las historias. Descúbrelo ahora