Bab 2

302 36 6
                                    

Mata Jaemin membelalak, didepannya ini istana hanya dari melihat gerbangnnya saja.

"Wah, jika tahu ini benar aku harusnya menyetujui dari kemarin."

Ketiga orang didalam mobil memutarkan bola matanya bersamaan, "bodoh," ucap mereka bertiga, lagi-lagi serentak.

"Hey kalian tak bisa mengumpati ku begitu, aku ini sekarang bos kalian."

"Tapi aku lebih kaya darimu sebelumnya," celetuk Johnny.

"Setelahnya kau lebih miskin sekarang," mendengar satu kalimat itu membuat si botak yang berada di samping Jaemin terbahak.

"John! Hahaha! Anak ini— hahaha!" Gelak tawa si botak terhenti kala Johnny berkata—

"Tutup mulutmu Seok, pewangi mobil tak begitu berfungsi lagi." Kini giliran Taeil dan Jaemin yang terbahak.

"Baiklah tuan muda, anda sampai di rumah anda yang seharusnya." Johnny menginjak pedal rem, lalu memarkirkan mobilnya, dan membukakan pintu Jaemin.

Jaemin melangkah keluar, kini bentuk O dimulutnya semakin besar. Tempat ini rumah? Yang Jaemin pikirkan sekarang adalah biaya listrik, air, dan kebersihan di tempat ini. Ia saja keteteran dengan biaya itu padahal rumahnya hanya sepetak.

"Mari saya antar anda keruangan tuan Yuta," kata Johnny amat formal.

"Apa kau mau pencitraan? Kau sedari tadi sangat tidak sopan padaku," ejek Jaemin.

"Jalan lah saja."

Jaemin memutar bola matanya, "ya ya ya."

Ia berjalan malas mengekori Johnny yang mengantarnya bertemu sang 'ayah', yah ia belum terbiasa.

"Renjun?!" Pekik Jaemin usai mata rusanya menangkap satu penampakan yang tak asing.

Si empu pemilik nama menengok kala namanya di sebut, dan reaksinya sama; terkejut.

"Jaemin?!" Kini giliran Renjun yang memekik keras.

"Kenapa kau disini?" Tanya Jaemin masih dengan muka skeptisnya.

"Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa disini? Ini rumaku." Renjun membalikkan pertanyaan milik Jaemin.

"Rumah?!" Pekikan tak dapat terhenti, Jaemin terkejut karena mendengar fakta bahwa ini adalah rumah Renjun.

"Katamu rumahmu hampir roboh dan kau adalah miskin sebatang kara sepertiku, makanya kau tak mau aku bermain ke rumahmu, tapi ini yang kau bilang roboh?!" Jaemin menunjuk lantai paling atas.

Si pria kecil mengelus tengkuknya, "hehe.."

"Tunggu, jika ini rumahmu.. Kau ayahku?!"

Johnny menepuk keningnya, percakapan bodoh macam apa ini.

"Kau Yuta?!" Pekikan Jaemin masih tak usai.

"Nak, dia anak pertama tuan Yuta," kata Johnny memberi pernyataan.

Mata Jaemin melotot, "Jun.. ulang tahunku dan kau kan sama. Jun?! JUN!"

Mata Renjun melotot rahangnya turun. "Kau sangat jelek! Berhentilah memperlihatkan pose itu! Mataku akan meloncat!"

Renjun menarik tangan Jaemin, membawanya entah kemana dengan tergesa.

"Ayahhhh!!! Biarkan aku menanyakan hal ini!!! Hei ayah!" Renjun mendobrak pintu dengan kakinya.

Ia menunjuk Jaemin didepan ayahnya, "Dia anak haram mu?!" Tanya nya menggebu.

Jaemin memukul kepala Renjun, "Kau ini bodoh atau apa, jika ulang tahun kita sama harusnya kau menanyakan apakah aku kembaran mu bodoh!"

"Sialan."

Yuta yang sedari tadi tak menghiraukan, menengok untuk melihat perdebatan anaknya entah dengan siapa.

"... Jaemin?"

Keduanya memberhentikan perdebatan, fokus kepada seonggok manusia didepan dengan jas merahnya.

"Kau Yuta?"

"Sopanlah sedikit pada ayah ku!"

Mata Yuta berkaca-kaca, ia segera berlalu meninggalkan kursi kerjanya dan berlari mendekap Jaemin erat.

"Nak, kau benar dirinya? Nak, ini aku ayah mu."

Jaemin yang didekap hanya mengerutkan alisnya, menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang ingin sekali ia lontarkan.

"Sudah lah Yuta, kali ini beri aku kesempatan untuk bertanya padamu," Jaemin melepaskan pelukan keduanya.

Yuta memegang kedua bahu Jaemin, "katakan, katakan apa yang kau inginkan."

Jaemin menengok kesamping, "Jun."

Renjun mengangguk paham, ia keluar dari ruangan itu.

"Maksud anda baru membawa saya setelah saya dewasa itu apa?" Tanya Jaemin serius.

Yuta menarik Jaemin untuk duduk, "begini," satu kata itu jelas membuka sebuah dialog untuk keduanya.

"Aku tahu semua teman dari Renjun termasuk kau dan Mark, namun aku tak terlalu mencampuri urusannya karena akupun punya urusanku sendiri. Namun dua tahun kebelakang aku tertarik dengan kasus kematian ayahmu— larat, ayah angkatmu. Saat kuselidiki kematian ayahmu tak masuk akal—"

"Aku tahu, langsung keintinya saja," belum selesai Yuta merampungkan kalimatnya, Jaemin menyela begitu saja.

"Baiklah, saat aku melihat-lihat dokumen yang hanya dipenuhi kata hutang itu aku sedikit tertarik dengan anak Kim Dongyoung, Kim Jaemin, kau. Aku tidak terlalu asing dengan dengan wajahmu, awalnya aku pikir setelah melihat foto Kim Dongyoung aku menjadi tak asing akan wajahmu, namun setelah ku pikir semalaman wajahmu tak sedikitpun mirip dengannya, hanya gigimu. Kau benar-benar tak mirip dengannya atau istrinya. Justru wajahmu malah mengingatkanku pada mendiang istriku, wajahmu sangat mirip dengannya."

Jaemin hanya mengangguk-anggukan kepalanya, "Lalu kau curiga dan mencari tahu tentangku?"

Yuta mengangguk, "dan kau akhirnya tahu bahwa aku anak kandungmu yang hilang, kembaran Renjun?" Lagi-lagi Yuta hanya mengangguk.

"Setelah dua tahun?" Dan lagi, Yuta mengulangi gerakan yang sama untuk ketiga kalinya.

"Aku bisa menjelaskan," elak Yuta kala raut Jaemin terasa tak enak.

Jaemin diam, memberi kesempatan untuk Yuta menjelaskan.

"Begini, aku sibuk dengan kematian istriku. Aku tertarik dengan kasus kematian ayahmu karena mirip dengan istriku, tapi malah salah fokus denganmu."

"Lalu kenapa kau yakin sekali bahwa aku ini anakmu?" Raut Jaemin semakin menyeramkan.

"Baiklah aku minta maaf untuk ini, aku mencuri sampel dna mu, rambut mu. Aku meminta Renjun untuk mengambil sehelai rambut mu. Lalu saat aku cocokkan denganku hasilnya 99% positif."

Jaemin menerawang ingatannya, mengingat-ingat apakah Renjun pernah mengambil rambutnya atau tidak. Benar, ia ingat Renjun menjambaknya tempo hari karena perkelahian kecil-kecilan keduanya.

"Oke, sekarang aku percaya. Namun aku mungkin sedikit bermasalah. Ya ya, aku tidak bisa cepat beradaptasi pada hal-hal baru seperti kekayaan mu, kau tau err.. aku awalnya miskin kan?"

Yuta menaikkan alisnya, "semua keputusan ada ditanganmu, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ayahmu. Jika Kau ingin tetap tinggal sendiri aku tak apa, namun jika kau ingin disini aku akan sangat senang. Apapun yang kau inginkan bicara saja padaku, aku akan menurutimu."

Jaemin menggaruk tengkuknya, "bagaimana ya, rumah yang kutempati sebelumnya adalah milik bank. Dan sekarang aku tak punya apapun selain organ tubuh dan baju-baju ku, jadi... jika aku meminta sesuatu pada mu seperti.. rumah? Boleh tidak?"

"Jangankan rumah, seluruh harta ku pun tak apa. Aku mengorbankan apapun yang kumiliki demi mencarimu dulu, kini aku sudah memiliki mu akan kulakukan segalanya untukmu. Namun ada syaratnya."

Jaemin mendengarkan dengan serius apa itu syaratnya, "Kau harus tinggal disini satu bulan terlebih dahulu, aku sangat merindukanmu."

Jaemin menjabat tangan Yuta, "Deal."

To be continnue...

New Person | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang