Bab 3

256 31 1
                                    

Ini adalah makan malam pertama Jaemin dengan keluarga 'baru' nya, namun meja hanya dipenuhi makanan tanpa orang yang memakannya, kecuali ia dan Renjun.

"Yuta— uhm ayah dimana?" Tanya Jaemin kala hanya melihat Renjun yang tengah lahap menyantap makanannya.

"Dia? Sejak Bunda meninggal ia tak pernah makan, kerjaannya hanya di kantor setiap saat," raut Jaemin menjadi khawatir, Renjun terkekeh karena raut itu, "Tenang saja, om Johnny yang bantu menyuapi Ayah kok," katanya menenangkan.

Jaemin terkekeh, mulai memakan makanan 'mewah' pertamanya, rasanya enak. Air matanya yang tumpah tak dapat membohongi perasaan Jaemin. Ia menangis, untuk pertama kalinya setelah dua tahun.

"Jun, enak," katanya sambil menggigit daging sapi yang ada didepannya.

"Aku tak perlu makan sarden busuk lagi... tak perlu mencuri makanan lagi demi bisa makan..." gumamnya, sampai daging itu menjadi asin karena air matanya yang meleleh terus-terusan.

"Hey, it's okay don't crying. You deserve this." Kata si kecil menenangkan.

Mata Renjun mengedar kala mendapati bibi maid kesukaannya tengah lewat, "Bibi, sini." Renjun memberi isyarat tangan agar sang maid mendekat.

"Duduk, kita makan bertiga," katanya enteng.

Sang maid menolak, "tidak perlu tuan muda, kan tuan sudah ada teman untuk makan, saya tidak perlu menemani tuan lagi."

"Siapa bilang tidak perlu? Perlu, duduklah. Kita berbincang seperti biasanya," Renjun menarik paksa maid itu agar duduk, "Oh iya ini Jaemin, kembaranku, adikku," katanya mengelus pundak adiknya.

"Halo tuan muda Jaemin, saya Haera, ketua maid disini," katanya memperkenalkan diri.

Jaemin tersenyum, "salam kenal bibi."

Renjun mulai memusatkan atensinya pada maid tersebut, "bibi apa yang terjadi belakangan ini? Aku ingin tahu!" Katanya antusias.

Jaemin membatin, jadi ini yang dimaksud Renjun berbincang. Anak itu tetap saja.

Haera menghadap Renjun, "tuan apa kau tahu," empat kata itu menyambut berita yang paling Jaemin hindari. "Tuan Jeno," benar lagi-lagi Lee Jeno.

"Katanya ia tak jadi menikah! Sungguh ini sudah terkonfirmasi, temanku yang bekerja pada tuan Lee Jeno sendiri yang berbicara. Katanya saat ia membersihkan meja ia melihat calon tuan Jeno secara tiba-tiba datang dan BOM menampar tuannya! Wah dan saat itu pula suasana pecah, aku pun tak tahu alasannya kenapa namun mereka memutuskan tidak jadi menikah! Kini Tuan Jeno tengah mencari pengganti calonnya karena tak ingin malu dihadapan publik, namun tak secara terang-terangan. Hanya yang mengenalnya saja, contohnya keluarga Na." Raut muka Haera dan Renjun benar-benar serius. Sialnya ia juga tertarik oleh berita murahan itu.

Yuta yang sedari tadi melihat dari kejauhan kini mendekat, "begitukan Haera?"

Haera terperanjat, matanya bergetar, "ma-maaf tuan, saya lancang."

Renjun pun sama terkejutnya, ayahnya mau makan di meja makan. Ayahnya. Mau. Makan. Aneh, ia aneh hari ini.

Yuta terkekeh, "tak apa, duduklah kembali," Yuta menepuk kursi yang semula Haera gunakan, yang diperintah hanya menurut. "Apa benar yang kau ucapkan tadi?"

Yuta mulai memakan makanannya sembari mendengarkan ketua maidnya itu bercerita tentang Jeno, saingan bisnis nya.

"Kau tahu kan Renjun, saat aku menelusuri kematian ibu kalian ada yang janggal? Dan semua kejanggalan itu selalu tertuju pada Lee Jeno? Bukankah ini waktu yang pas?" Yuta menyeringai ngeri.

Masih belum usai karena keterkejutannya, renjun semakin dibuat terkejut karena ayahnya akhirnya mau berbicara dengannya selain berkaitan dengan hal-hal bisnis.

"Bagaimana, sudah paham atau belum?" Tanya Yuta, bola matanya bergulir kekanan dan kekiri memperhatikan Renjun dan Jaemin.

Renjun menyernyit, sedangkan Jaemin mengangguk paham, "kami disuruh menjadi pengganti calon pengantin Lee Jeno?" Katanya.

Yuta menjetikkan jarinya, "Gotcha! Kau pintar!"

Renjun melotot, "kami?! Aku mungkin yang pertama akan menolak."

Jaemin mengangguk, "mau tak mau," katanya pasrah.

Yuta tersenyum menang, nampak raut bahagia diwajahnya. Akhirnya.

***

"Tuan, ada pesan dari Tuan Yuta," Pemuda yang dipanggil menengok, menaikkan satu alisnya.

"Ada apa?" Ia membuka suara.

Sang sekretaris menyerahkan secarik kertas dilapisi amplop berwarna coklat yang ada di tangannya.

"Surat?" Ia menerima secarik itu.

Membuka amplop itu, menelisik tulisan-tulisan yang membuatnya terkejut.

Ia meremas-remas kertas itu, "Siapa yang membocorkan informasi ini?!" Rahangnya mengeras, menggertakkan giginya menghasilkan suara-suara khas karena gesekan gigi itu.

Ia mengelurkan ponselnya, mendial nomor satu orang yang sangat dibencinya.

"Halo," suara menyebalkan terdengar disebrang telepon milik Jeno.

"Sialan! Siapa yang memberikan mu informasi rahasia itu?!" Ia memukul meja kerja miliknya, membuat benda di sekitar berjatuhan.

"Emm.. rahasia?" Jeno yakin wajah orang disebrang sana tengah meledeknya dengan menjulurkan lidahnya.

"Sial, apa mau mu."

"Santai nak, jangan menggertakkan gigi begitu ketara." Rasanya Jeno ingin melempar ponselnya sekarang juga.

"Apa mau mu sialan?!" Lepas kendali Jeno berteriak nyalang sembari alisnya menukik tajam.

"Simple, nikahi seseorang yang ku kirim padamu."

"Siapa itu, anakmu? Si bocah kecil itu? Tidak mau."

"Tidak, tidak. Bukan dia. Data dirinya akan ku kirim lewat email nanti jika kau menerima tawaranku, yang pasti ia orang asing, bukan selebriti dan tidak terkenal. Sesuai dengan kriteria mantan calon mu itu bukan?"

Jeno menyernyit, "jika aku menolak?"

Yuta menjetikkan jarinya, Jeno dapat mendengar itu.

"Informasi itu akan ku sebar." Sialan na Yuta ini, Jeno tak bisa berkutik sedikitpun saat si tua bangka itu memiliki kartu as nya.

"Kirim data dirinya sekarang juga." Pasrah Jeno kala dirinya memang kalah telak.

Yuta menyeringai penuh kemenangan, ia menang.

To be continnue...

New Person | NominWhere stories live. Discover now