Sepuluh

390 48 3
                                    

Suasana di dapur kini heboh dengan celetukan Bu Rini yang menggoda Hana karena tak pernah lagi dimarahi Sabda. Dan Hana yang semakin malu hanya bisa tersenyum canggung dengan rona merah yang tak jua hilang dari kedua pipinya.

"Dulu, Ibu juga sering di omelin Mas Sabda, ada saja yang salah dan ndak benar di matanya. Tapi Ibu tetap sabar ndak mau ambil hati, sampai akhirnya Mas Sabda mulai melunak dan ndak pernah marah - marah lagi, malah sekarang Ibu dianggap seperti Ibunya sendiri."

Gerakan Hana yang sedang menghias kue terhenti, ada hal yang membuatnya penasaran setelah mendengar ucapan Bu Rini barusan. Ia menatap wajah wanita paruh baya yang terlihat bahagia di sampingnya ini.

"Ibu, Pak Sabda pernah cerita apa aja sama Ibu, hmm maksudnya tentang keluarganya mungkin?" Tanya Hana hati - hati. Bagaimanapun juga, membicarakan tentang masa lalu majikan sendiri bukanlah sesuatu yang pantas dan layak untuk ditanyakan.

Hana memperhatikan Bu Rini yang tersenyum tapi tak jua menjawab pertanyaannya, membuatnya menjadi sungkan karena sadar terlalu lancang untuk mengorek kehidupan pribadi majikannya itu.

"Ndak banyak yang Ibu tahu, karena Mas Sabda orangnya sangat tertutup. Ibu cuma tahu Mas Sabda itu ndak akur sama keluarganya, tapi ya ndak tahu masalahnya apa. Ibu cuma tahu kalau bertahun tahun Mas Sabda itu hidup sendirian di Surabaya tanpa pernah ketemu keluarganya, kecuali dua hari yang lalu."

Hana menganggukkan kepalanya dan memilih tetap diam ketika menyadari wanita di sampingnya ini belum selesai dengan ucapannya.

"Hidup Mas Sabda itu terlalu hening, banyak yang takut sama dia, padahal orangnya baik sekali. Walaupun kelihatan angkuh, tapi baiknya luar biasa, tapi ya itu kita harus sabar sampai hatinya melunak. Di dunia ini kan ndak ada sifat yang sempurna, iya kan Mbak?"

Hana tertegun sejenak sebelum kembali mengangguk, ada rasa di hatinya yang terasa sakit mendengar perkataan Bu Rini. Ada rasa yang tak ia sukai karena membayangkan bagaimana di luaran sana orang - orang memandang seorang Sabda. Tapi rasanya tak perlu membayangkan orang lain, karena ia pun pernah berada di posisi membenci lelaki itu.

Dan sekarang, apakah ia masih membenci?

"Wah, Mbak Hana pintar sekali bikin kue, Mas Sabda pasti doyan iki sama kuenya."

"Semoga aja, Bu." Ucap Hana tersipu malu.

Membayangkan ekspresi lelaki menyebalkan yang hari ini berulang tahun, membuatnya tanpa sadar tersenyum. Iya, tepat hari ini Sabda berusia dua puluh enam tahun, dan Hana baru mengetahui itu beberapa jam yang lalu. Membuatnya terkekeh ketika menyadari panggilannya kepada lelaki itu. 

"Tadi Mas Sabda bilangnya mau ke mana, Mbak?"

"Cuma bilang mau ketemu seseorang aja, Bu."

"Tapi hari ini pulang kan?"

Hana dengan cepat mengangguk, Sabda mengatakan hanya keluar sebentar. Lelaki itu memang mengetahui kalau Hana dan Bu Rini menyiapkan sesuatu untuknya, dan ia tak marah sama sekali bahkan mengatakan ingin mencicipi kue yang secara khusus dibuatkan Hana. 

Senyuman Hana kembali merekah, ia sungguh tak menyangka lelaki itu akan bersikap ramah kepadanya. Sungguh majikan yang menjelma menjadi baik dan perhatian, membuatnya dengan cepat mencabut rasa tak sukanya kepada tuannya itu.

***

Entah berapa kali Hana menguap dan menghapus bulir air mata yang jatuh karena menahan kantuk. Ia sangat mengantuk tapi sekuat tenaga ia tahan karena menunggu Sabda yang  tak jua datang.

Helaan napasnya terdengar ketika melihat jam yang semakin bergeser melewati angka dua belas malam, Menandakan hari sudah berganti. Rasa kecewa itu tak bisa ia tepis, dengan semangat yang semakin menipis. Dan ia kembali mengingat, apakah Sabda mengatakan ingin menginap dan tak pulang?

SABDA [END]Where stories live. Discover now