04. perihal proposal

29 5 0
                                    

─────────────────

Kejadian beberapa jam yang lalu benar - benar membuat Caca gila sendiri. Sejak baru menginjakkan kakinya di rumah, lengkungan dibibirnya itu tak sedikit pun memudar.

Bahkan ketika mbak Sri memergokinya dan mengancam untuk menelfon mamanya detik itu juga, Caca hanya mesam - mesem dan langsung ngibrit ke kamar.

Hal itu berakhir dengan teror berupa panggilan telefon dan puluhan pesan yang mamanya kirimkan. Dan dengan penuh percaya dirinya Caca hanya menjawab,

" Ih mamah ─ aku tuh habis kerkel di rumah Naya ! Ga kemana - mana ! "

Anak durhaka memang Caca itu. Tapi ya gimana ya ── kalau tidak begitu, bisa - bisa besok Caca sudah tinggal nama.

Gadis itu, kini sudah berbaring diatas kasur sambil memandangi langit - langit kamarnya.

" Kalo Jevan tiap hari begitu, udah masuk RSJ kali gue ya ? " Gumam Caca sambil tersenyum malu - malu kucing.

Perlakuan Jevan tadi, benar - benar membuat Caca salah tingkah setiap kali mengingatnya. Jevan ── itu bukan tipe orang yang bisa menunjukkan perasaannya dengan baik. Bahkan pada Caca sekalipun, lelaki itu juga selalu bersikap biasa - biasa saja, seolah tak ada hubungan spesial diantara keduanya.

Caca kembali berguling ke kanan dan kiri, sambil memukuli benda apapun yang ada disebelahnya. Mungkin setan penghuni kamarnya pun ikut heran melihat Caca.

Sebuah dering masuk dari ponselnya, membuat gadis itu langsung terbangun. Caca meraih ponsel yang berada di nakas samping kasurnya.

Ia secara otomatis memutar bola matanya malas, tepat setelah melihat nama yang tertera dinotifikasi itu.

" Apaan ? " Dengan nada sewot, Caca menjawab panggilan telefon itu.

" Belum tidur ? " Tanya orang diseberang sana.

" Ck ── to the point aja Dan, ngapain lo malem - malem nelponin gue ? "

Ya, orang itu adalah Zidan. Caca tak tahu apa yang mendasari lelaki itu menelponnya tengah malam begini.

" Proposal MPLS udah kan ? "

Pertanyaan itu seolah melayang bersiap untuk menampar Caca. Mampus ── gadis itu otomatis berdiri meraih laptop yang berada di atas meja belajarnya.

Caca kini benar - benar kalang kabut, mencari file yang seolah bersembunyi tak mau dijumpai.

" File - file, lo lari kemana sih ? " Gumam Caca pelan, namun masih sampai ditelinga Zidan.

" Jadi ── udah apa belom ? "

Caca tak menggubris ucapan lelaki itu sama sekali. Ia masih fokus mengacak - acak, membuka satu persatu file yang sepertinya lupa ia beri nama.

Syukur Caca ucapkan melihat file itu sudah terlihat wujudnya. Ia langsung membuka dan tentu isinya masih kosong melompong. Hanya berisi halaman sampul dan beberapa bagian yang sudah ia cicil beberapa hari yang lalu.

Caca menyesal, kenapa kemarin ia memilih untuk menunda mengerjakan proposal itu. Jika mengetahui akhirnya akan seperti ini, Caca tak mungkin menganggurkan proposalnya.

" Ganti ke vidcall aja Ca. " Seru Zidan yang kini sudah mengubah panggilan telefon ke panggilan video.

Caca menggesernya begitu saja, tak peduli bagaimana penampilannya sekarang. Bingung iya, panik iya.

" Dan ── itu filenya ... "

Terjeda cukup lama, Caca menunjukkan wajah ketakutan. Ia takut kena amukan Zidan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 29 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

tujuh belasWhere stories live. Discover now