Prolog

825 53 11
                                    

“Lihat, dia duduk sendiri. Pasti nggak punya temen.”

“Juwita, ya? Jelek, sih, namanya. Katrok.”

“Kok Kak Juan bisa punya adek jelek gitu, ya. Pendek banget lagi.”

“Kan, adek tiri, hahaha!”

Dalam sekejap, gelak tawa itu memecah keheningan kantin. Ungkapan; jelek. Katrok. Pendek. Nggak punya temen, hal-hal yang biasa Juwita dengar, tetapi tidak bisa ia abaikan. Ia yang tadinya khusyuk menyantap bekal makan siang, seketika itu terdiam. Kepala Juwita semakin menunduk sehingga wajahnya tidak terlihat karena tertutup rambut panjangnya.

Lagi-lagi tentang Juan. Sakit sekali saat orang-orang mulai membandingkannya dengan abangnya tersebut. Abangnya memang dikagumi teman-temannya. Juan ganteng, pintar, dan punya banyak teman. Jika dibandingkan dengan Juwita, kehidupan Juan dan Juwita di mata orang lain bagaikan langit dan bumi. Mereka tidak akan pernah setara dan sama.

“Eh, dia ngelihatin tuh. Pergi yuk!” Hentakan demi hentakan kaki itu menjauh, tetapi suaranya bagaikan serdadu yang mengepung Juwita. Ia menggigit bibir bawahnya saat dadanya semakin sesak. Juwita jadi tidak berselera makan. Ucapan setajam pisau serta tatapan mencemooh tersebut seperti makan siang yang mengenyangkan perut Juwita. Juwita segera memutuskan kembali ke kelas. Paling tidak, di kelas ia bisa meringkuk di mejanya. Tapi, yang ia dapati justru membuat Juwita semakin sedih. Buku-buku di mejanya berantakan, mejanya penuh coretan, ada tulisan paling besar, Juan ganteng Juwita kampung. Juwita lemas.

Siapa yang nyoret meja aku? Juwita mengedarkan pandangannya, seakan bisa menemukan teman yang tega melakukan ini padanya.
Teman-temannya malah tertawa serta melemparkan tatapan yang meremehkan. Kalau Juwita masuk dunia fantasi, pasti tubuhnya sudah mengecil dan terinjak sepatu, tetapi itu lebih baik. Daripada menahan tangis saat teman-temannya melayangkan tatapan mencemooh tersebut.

Kenapa aku? Kenapa mereka benci aku? Kenapa aku adik Bang Juan? Aku benci Bang Juan! Aku nggak mau jadi adek Bang Juan!

“Kalian kok jahat sama aku, sih?”
Tangis Juiwita pecah, yang seketika itu membuat yang lain heboh, tetapi tidak juga mencoba menenangkan. Justru, mereka malah saling menyalahkan, “Hayo lho, Juwitanya nangis! Kamu, sih!”

“Lho, Juwita, kamu kenapa?” Suara familier dari seorang wanita membuat Juwita terdiam sesaat lalu menoleh ke belakang dengan wajah yang penuh linangan air mata.
Napas Juwita kembang-kempis dengan dada yang rasanya sempit sekali.

“Bu Guru… Juwita mau pulang.”

***

Sepulang sekolah, Juwita segera masuk rumah dan sedikit kesulitan melepas sepatunya karena tangannya yang bergetar sehabis menangis. Pandangan Juwita mengedar, rumahnya sepi. Mama, batinnya berteriak memanggil ibunya.

“Ma,” lirihnya. Aku pengin cerita sama Mama. Karena ia yakin jika pelukan mamanya mampu menghangatkan tubuhnya. Juwita berlari kecil mencari keberadaan mamanya di lantai dua. Sampai sebuah suara dari kamar kedua orangtuanya mencuri perhatian Juwita. Ia pun segera berlari mendekatinya.

“Mas, dia lucu, kan?”

Namun, kaki mungil Juwita refleks berhenti di depan kamar tersebut. Di sana ada Bram dan Nirmala, kedua orangtua Juwita juga adik bayinya dalam gendongan sang mama yang baru berusia dua minggu.

“Mam–”

“Ayah! Mama! Lihat! Juan dapat nilai ulangan seratus.”

DEG!

Tubuh Juwita membeku ketika sosok yang lebih jangkung darinya itu melewatinya begitu saja dan menghampiri kedua orangtuanya. Tentu saja keduanya langsung menyambut putra sulung mereka dengan ekspresi sumringah.

“Wah, beneran?” tanya Nirmala sembari mengambil kertas yang Juan ulurkan.

“Mas, anak kita dapet nilai sempurna di ulangan Matematika!” Nirmala menoleh ke arah suaminya sambil menunjukkan hasil ulangan Juan.

“Hebat! Abang bisa dapet nilai sempurna hampir di semua mata pelajaran,” puji Bram sambil mengelus rambut Juan pelan.

Hebat. Bang Juan hebat dan selalu hebat. Tanpa mereka sadari, di balik dinding, Juwita hanya sanggup mencuri dengar. Juwita menatap nanar pemandangan di depannya dengan dada yang semakin sesak. Padahal, udara di sekitarnya terasa dingin, tetapi sekujur tubuhnya seperti terbakar cemburu. Mereka berempat tampak seperti keluarga bahagia tanpa Juwita. Iya, tanpa Juwita.

Juwita tersenyum getir. Aku juga pengen cerita sama Mama dan Ayah.


Bersambung....

Halo semua, selamat membaca cerita J3 (Juan, Juwita, dan Jelita) versi Wattpad ♡.

[Jangan lupa buat mampir ke AU-nya juga, bagi yang belum baca di X.]

]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
J3 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang