Bab 4-(bolos)

413 32 2
                                    


“Oh ya, Kak. Kedepannya Kakak berangkat sama Abang berdua, ya. Nggak apa-apa, kan?”

“Uhuk!” Juwita seketika itu tersedak roti yang sedang ia santap. Mamanya dengan cepat mengulurkan segelas air putih pada Juwita.

“Minum dulu, Kak,” katanya sambil mengelus punggung Juwita.

“Kak, Akak nggak apa-apa?” tanya Jelita ikut khawatir.

Juwita menggeleng sebagai jawaban. Astaga, masih pagi. Sarapan bahkan belum beres, tetapi ayahnya sudah mengajari Juwita cara senam jantung.

“Gimana?”

Juwita terperangah. “Be-berangkat? Sama dia?” tunjuk Juwita ke Juan.  Sedangkan orang yang ditunjuk tepat di sampingnya hanya menengok sebentar dan kembali menyantap sarapannya. Terlihat tidak peduli.

Kalimat yang barusan diucapkan oleh sang ayah bagaikan petir yang menyambar. Juwita mati-matian meminta Juan tidak mengenalinya di sekolah, eh, justru sang ayah meminta mereka berangkat berdua? Bahkan Juwita sampai rela uang jajannya bulan ini berkurang hampir setengahnya. Apa yang harus Juwita lakukan sekarang?

“Memangnya harus, Yah?” Juwita menatap dengan ekspresi berharap kalau dia masih memiliki harapan tidak berangkat bersama Juan.

“Kakak nggak mau, ya?” tanya sang mama.

“Enggak, enggak gitu, Ma.”

Mana bisa Juwita bilang alasannya enggan berangkat bersama Juan karena tidak ingin orang-orang di sekolahnya tahu identitas Juwita. Ayah dan mamanya pasti khawatir.

“Ya sudah, kalau gitu mulai sekarang berangkat sama Bang Juan, ya,” putus Bram. Juwita diam-diam mendesah mengalah.

Setelah selesai sarapan, Juwita hanya bisa berjalan lesu ke garasi. Di depan garasi, Juan sudah siap di atas motor CRB 250RR. Pilihannya ada dua; jika Juwita menolak, dia akan mendapat interogasi dari Ayah dan Mama, tetapi jika Juwita menerima, pasti kehidupan SMA-nya akan sekelam sebelum-sebelumnya.

“Oy! Ngapain bengong? Buruan naik. Bisa telat, nih!” kata Juan di balik helmnya.

“Gue berangkat sendirian, deh,” putus Juwita. Lebih baik menyelamatkan masa sekolahnya. Diinterogasi sehari tidak sebanding dengan masa sekolah yang tidak tenang sampai tiga tahun.

“Ya udah. Gue duluan.” Setelah mengatakan itu, tahu-tahu Juan langsung menyalakan motor dan melajukannya begitu saja hingga membuat Juwita melongo.

“Lho, gitu doang?” Juwita mendengkus kesal. Emang abang yang enggak berperasaan.

Beruntung Juwita memiliki sepeda pink yang bisa ia gunakan setiap saat. Setelah siap memakai helm sepeda senada, Juwita bergegas mengayuh meninggalkan rumahnya.

“Oke! Semangat, Ju! Pokoknya masa SMA harus bahagia!”

Suasana sejuk pagi hari membuat senyum Juwita makin lebar saat menggowes sepanjang jalan. Apalagi, matahari pagi masih belum terik, jadi Juwita tidak kepanasan. Tangannya menyibak rambut panjangnya yang hampir sebahu ke belakang sebelum mengangkat tangan kanannya mengecek jam tangan. Pupil matanya seketika itu membesar saat ia tahu bahwa ia tidak punya waktu lebih banyak lagi.

J3 [TERBIT]Where stories live. Discover now