Cheese Reaction (III)

142 32 245
                                    

Lelaki itu memilih untuk menyelesaikan tugas-tugas makalahnya. Ia membuka jendela, membiarkan indurasmi masuk ke dalam ruangan. Jemarinya menari di atas keyboard laptop dan kertas selagi angin sejuk menyapu kulitnya.

Selang beberapa jam, ketukan pintu terdengar. "Hasna, ini Halwa!"

Yang dipanggil segera menutup gulungan pakaian di kaki dan lengan hingga tak tampak ada luka di sana. Dengan usaha keras, ia mendekat dan membuka pintu kamar. "Ada perlu?"

"Tolong temenin aku keluar, hehe. Mau beli martabak sekalian balikin handphone-nya Rahma," jawab Halwa seraya memperlihatkan ponsel tersebut.

Oh, iya. Padahal aku yang pinjam, batin Hasna, kemudian berkata. "Oh. Kamu di rumah aja. Biar aku yang ambil alih."

Gadis itu menggeleng. "Aku mau cari udara segar."

"Kasihan dompet sama perut kamu, Wa."

"La-la-lagipula, Rahma pasti cemas karena gak lihat kondisiku secara langsung. Dia, 'kan, lihat kamu datang ke klinik dengan aku yang sudah pergi dulu di tengah gerimis."

"Jadi, maksud kamu, kita tunggu Rahma lewat karena jalannya memang searah dengan rumah dia?"

"Yup!"

"Oke. Tapi jangan jauh-jauh dari aku. Bagaimana pun, ini sudah jam sembilan malam."

Dengan begitu, keduanya keluar rumah. Hasna berjuang agar raut dan langkahnya tampak biasa. Lagipun, ia merasa terbayar dari yang seharusnya dengan melihat senyuman orang-orang yang disayanginya. Itu melembutkan dan meringankan hati kecilnya. Beban di pundak dan punggung pun rasanya terangkat. Keluarga, teman-teman, hal-hal kecil yang disukai, terutama Tuhan. Semua adalah cahaya yang membuat kepala dan jiwanya tetap tenang.

Manik obsidian yang lebih pekat itu menatap saudari kembarnya yang tiga sentimeter lebih pendek. Halwatuzahra. Humaira keluarganya. Ia adalah bunga yang mekar dengan suara dan tawa yang lembut. Hasna dan ayah mereka selalu menemukan hangat kerinduan pada wujud itu. Mengingatkan indra mereka pada seseorang yang telah pulang lebih dahulu: perempuan hebat yang telah melahirkan si Kembar.

"Oh? Rahmaaa!" panggil Halwa seraya melambai ke depan mobil Rahma dari tepi jalan. Melihat benda itu menepi, ia segera mendekat dan memeluk erat sahabatnya yang bahkan belum selesai menutup pintu kendaraan.

"Kenapa gak di rumah aja? Padahal aku mau ke situ buat mastiin kondisi kamu," cemas Rahma.

Hasna menatap dari kejauhan. Ada dua jenis senyuman terukir di bibirnya. Menyadari hal itu, ia segera memalingkan muka. Tidak bisa. Ini terlalu indah untuknya.

Lelaki itu menggelengkan kepala, lalu membeli martabak cokelat sebelum duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terluka. Ia mengeratkan jaket, uap dingin keluar dari mulutnya. Mengagah nabastala, tampak Strawberry Moon menggantung di sana. Beberapa drone mengudara. Sedangkan di daratan ini, aroma semua makanan dan mainan lebur dalam kelembapan udara malam.

Hasna meminum teh hangat yang tadi di belinya. Sesekali melirik ke arah Halwa dan Rahma untuk memastikan mereka aman. Meskipun demikian, ia lebih sering menunduk untuk menghindari kontak mata. Takut. Terlalu banyak kemungkinan dari hal tidak menyenangkan. Contohnya seperti melanggar privasi dengan tidak sengaja atau mengetahui hal yang seharusnya tidak perlu.

Matanya melebar saat melihat kedua gadis itu berlari cemas menuju ke tengah-tengah gemerlap gerobak para penjual. Refleks kaki mengejar bagaimana pun keadaannya. Di pemberhentian, ia melihat Halwa, Rahma dan tetangganya: seorang ibu dengan anak perempuannya.

"Ada apa?" tanya Hasna terengah-engah.

"Dia bilang, tiba-tiba dia merasakan sakit kepala yang sangat," jawab Rahma setelah selesai menelepon supirnya untuk menjemput di tempat mereka berada. Ada pun Halwa sibuk mengurus ibu dan anaknya.

HEURISTIKWhere stories live. Discover now