Smaragd (I)

111 21 105
                                    

Bising kelelawar beterbangan keluar dari gedung tua ketika seorang lelaki pucat pulang dengan kotak roti berukuran sedang. Perlahan ia duduk di pojok ruangan, tampak letih dan kesakitan terutama ketika bersentuhan dengan beku dan kotornya keramik pecah. Setidaknya, mantel yang telah dihadiahkan membuatnya merasa hangat, sehingga pipi dan telinga tak lagi memerah sakit karena kedinginan.

Lelaki pucat bersandar pada kain yang menguar raksi khas seorang ayah. Ia biarkan dirinya jatuh dalam angan dan belaian kerinduan. Itu lebih baik daripada mencium aroma bunga-bunga pusara. Ditambah, satu beban di pundaknya terangkat karena telah mengembalikan barang yang bukan miliknya.

Mulutnya mulai mengunyah roti bersama kucing-kucing yang biasa lalu lalang di sana. Gigi yang sangat lama tak merasakan makanan layak tak bisa dikendalikan. Hampir saja ia meneteskan air mata. Rasanya, ini adalah hari terbaik setelah terpaksa tinggal di Gedung Penarik Uang bercangkang Panti Asuhan. Pilihan bagus untuk kabur, memang.

Jujur saja, tak mudah untuk melupakan hari-hari buruk di sana. Di sini pun, ia harus berjuang untuk uang, makanan dan tempat tinggal yang layak. Akan tetapi, hal yang paling membuatnya bisa semakin berdiri tegak adalah dipertemukan kembali dengan orang yang disayanginya. Ia tak akan lupa kali pertama mereka bertemu lagi di tengah jalan. Debaran itu, kebahagian itu, dan harapan. Senang rasanya masih memiliki satu hal setelah Tuhan memulangkan banyak hal.

Lelaki itu tersenyum mereminisensi kenangan. Seketika pula berubah di saat mengingat berbagai respon ketakutan. Lantas dengan satu tangan ia tutupi wajah. Orang mana yang tidak salah paham melihatnya penuh darah? Terutama ketika menggenggam kayu berlumur cairan merah? Romannya yang meminta pertolongan pun tertutup oleh penampilan nan mencurigakan, bukan?

Mengesampingkan itu, sebetulnya ia bersyukur. Di dunia ini, baik gadis itu dan semua orang memiliki pelindung. Meski pun ada beberapa yang belum sadar, mereka aman dan tidak sendirian. Begitu pula dengannya, pasti akan diberikan lagi oleh Tuhan. Kecuali malaikat lebih dahulu membawa ia pulang untuk menemui keluarga kecilnya.

Indra pendengaran lelaki pucat menajam pada sayup-sayup ramai beberapa orang yang mendekat. Sebelum dapat memastikan, pintu gedung yang memang setengah rusak jatuh karena didorong keras. Debu beterbangan, kucing-kucing melompat terkejut, dan matanya dibuat silau oleh sorotan senter. Ia berusaha menghalau dengan satu tangan selagi kelelawar yang beterbangan di sekitar meraung terganggu atau keluar.

“Loh? Ini setannya?” tanya salah satu lelaki. Ia membuka tudung jaket hitamnya dengan kecewa---merasa telah membuang-buang waktu emasnya.

“Lebih kayak guguk daripada psikopet,” celetuk lelaki berambut berantakan. Ia mengernyit jijik ketika menyadari sepatunya menginjak kotoran si Mamalia Malam.

Di samping, seorang gadis membersihkan rambut gelombangnya yang diikat kuda dari sarang laba-laba selagi menambahkan. “Guguk makan roti.”

“Kasar!” seru gadis berambut panjang dari belakang, lalu ikut menyorot dengan senternya. “Eh? Iya, mirip. Ekor dan telinga guguknya bisa dibayangkan,” gumamnya. Segera ia turunkan senter semua orang ketika sadar itu menimbulkan rasa tidak nyaman.

Ada pun, lelaki pucat mengerjap-ngerjap untuk memfokuskan pandangan. Lantas tersentak hingga menempel dinding di belakangnya lantaran mereka sudah berjongkok di hadapan.

“Lukanya kurang banyak,” ucap lelaki berambut berantakan. Menimbulkan teman-temannya mendelik tajam.

“Lo siapa?” ramah lelaki berjaket hitam, tapi kedengarannya lebih seperti menantang.

Masih dalam kebingungan, lelaki pucat menggerakkan telunjuknya untuk menulis sesuatu. Akibatnya, pasang mata lain saling bertemu. Paham akan situasi manusia asing itu.

HEURISTIKWhere stories live. Discover now