Bab 23. (C) Rindu

163 267 0
                                    


Minggu, 1 April 2018—di Kamar—Pukul 20.03 WIB.

Kini buah hati kami sudah genap berusia 5 bulan, dan aku juga sudah melewati masa idah sejak bulan Februari kemarin. Oh, ya. Nama anak kami diberi nama Muhammad Hafidz Tegarkhoir yang telah lahir pada hari Jumat, tanggal 1 Desember 2017, bertepatan pada saat memperingati Maulid Nabi. Alhamdulillah, aku melahirkan bisa secara normal dan kami selamat, meski kandunganku lemah. Meski ini tidak sesuai dengan expektasi-ku dan Tegar.

Dulu, kami bersepakat bahwa, jika nanti aku melahirkan, maka suamiku akan menemaniku. Ya, padahal aku sangat ingin menggenggam erat tangan suamiku selagi aku merasakan sakit yang teramat ketika dalam proses melahirkan dan aku juga ingin Hafidz diazani oleh ayahnya. Namun, meski expektasi-ku itu tidak kenyataan, tapi aku tetap bersyukur dan juga memercayai bahwa hal ini yang terbaik untukku. Dengan aku melahirkan secara normal dan aku serta bayiku selamat saja itu sudah merupakan suatu keberuntungan. Alhamdulillah.

Namun, memang semenjak kepergian Tegar, hatiku sungguh menggigil—kesepian dan hampa, meski di rumah aku tidak sendirian. Dan selama lima bulan ini, ada ketiga sahabatku yang setia menemani, yakni Aulia, Fitriani, dan Desi, mereka selalu mendampingiku, ya mereka memang suka menginap di rumah ini, meski tidak menginap setiap hari. Sebab, mereka memiliki kehidupan masing-masing yang berbeda-beda. Biasanya mereka menginap setiap Sabtu.

Sudah 2 tahun lebih aku berumah tangga dengannya, begitu terasa cepat waktu berlalu. Ternyata Allah menakdirkan waktuku bersamanya di dunia begitu ... terbatas. Meskipun demikian, aku bersyukur dan bahagia bisa berjodoh dengannya. Aku juga bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada, walaupun tidak setiap saat. Tapi, tidak! Aku tidak boleh bergantung pada sahabat-sahabatku. Aku benar-benar harus bisa berdiri dengan tulang-tulangku sendiri menapaki terjalnya kehidupan yang berasa sangat licin.

Ingat kata suamiku ‘Nuri istrinya Tegar, jadi Nuri harus tegar’ setegar Tegar mengerjakan rumus-rumus dunia yang teramat pelik dan berkelok-kelok.

Oh, ya. Aku juga tetap menjalankan amanah dari suamiku untuk senantiasa tholabul ‘ilmi di setiap hari Jumat, walaupun aku sudah memiliki seorang anak yang masih bayi dan meskipun aku selalu sibuk mengurus anak dan rumah tangga, serta mengurus perusahaan suamiku. Ya, aku tholabul ‘ilmi di pesantren—tempat di mana suamiku tholabul ‘ilmi. Terus berselawat kepada Nabi dan melakukan sunah-sunahnya, itu juga harus selalu diajarkan kepada Hafidz dan juga anak-anak asuh kami. Serta tak lupa untuk selalu bersedekah atau beramal ilmu dan harta.

Ah, Kang Kuat Sayang ... aku juga rindu setiap setelah salat sunah berjamaah, kamu berperan sebagai ustaz, mengajariku mengaji dengan sabar, padahal aku selalu uring-uringan merasa kesal karena kamu suka menyuruhku mengulangi bacaan terus, karena tajwidnya belum fasih. Kamu juga mumpuni menafsirkan Alquran ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Kamu sudah berjanji akan terus membimbingku. Tapi, kenapa kamu pergi secepat kilat, Kang Kuat, sebelum ilmu tajwidku sempurna. Padahal aku masih membutuhkan bimbinganmu?

Ah, pertanyaan itu sama saja kulontarkan kepada Allah. Karena Tegar pergi atas kehendak-Nya.

Astagfirullah Hal’adzim … maafkan hamba, Ya Allah … Nuri, bukannya kamu udah ikhlas, jadi jangan meratapi kepergiannya. (Air mataku menetes lagi).

Aku memang butuh proses untuk membiasakan diri menghadapi kehidupan tanpa Tegar. Tetap saja aku tidak bisa membohongi diri. Aku sungguh sangat kesepian, selalu menangis setiap ingat Tegar, terlebih aku tak pernah bisa tidur jika tanpa mendengarkan detak jantungnya. Akibatnya insomnia dan malah mengguguk menangis setiap malam, itu sebelum buah hati kami lahir. Namun, setelah buah hati terjun ke dunia, setiap malam jika aku tak bisa tidur, aku selalu mengalihkan kesedihanku dengan menidurkannya, apabila terkadang dia rewel. Tapi, bukannya aku tidak tidur sama sekali, cuma semenjak ditinggal suami, aku selalu tidur lewat tengah malam, itu pun tak selelap dan senyaman dulu. Entahlah, mungkin karena aku tidak lagi mendengarkan detak jantungnya, karena itu kebiasaan/kemanjaanku pada Tegar.

Cahaya untuk Tegar (EDISI REVISI 2023) TAMAT ✔️Where stories live. Discover now