Bab 27. Tetangga Baru

7 1 103
                                    

"Lan!"

Mendengar namanya dipanggil, Rilan menghentikan langkah, lalu berbalik. "Quin? Ada apa?"

Quinna menormalkan napasnya sebentar karena dia tadi berlari menyusul Rilan. "Jadi, gini, lo mau nggak jadi guru les adek gue?"

"Tapi, gue nggak bisa setiap hari."

Quinna tersenyum senang, itu artinya Rilan bersedia. "Nggak apa-apa. Lo nge-les pas nggak ada kelas tambahan aja. Mau, 'kan?"

Rilan mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja, dengan senang hati dia setuju. Rilan mulai berpikir, sudah saatnya berhenti bergantung pada orang tua Azka, yang notabene bukan siapa-siapanya.

"Oke, kalau gitu lo atur aja jadwalnya. Nanti kabarin gue, ya."

"Sip! Makasih, Quinn."

"Ei, harusnya gue yang makasih, loh."

Akhirnya, mereka mengobrol sambil berjalan menuju kelas. Sudah lama Rilan dan Quinna tidak mengobrol seperti ini karena Rilan selalu sibuk dengan urusan sekolah. Kini, lebih santai sebab Rilan tidak lagi menjadi perwakilan sekolah. Memang benar, setiap kejadian pasti ada hikmahnya.

***

"Guys! Gue ada pengumuman!" seru Rilan yang baru datang dari ruang guru.

Ketua kelas bicara, para murid lain auto menyimak. Kadang, mereka lebih patuh pada Rilan daripada dengan Pak Reno. Tentu saja karena cowok itu baik hati dan tidak menyebalkan.

"Sekitar dua bulan lagi sekolah kita ulang tahun, 'kan? Nah, kita kelas sebelas, wajib jadi panitia."

Seseorang menyahut, "Wajib? Nggak boleh nggak ikut jadi panitia, dong?"

Rilan mengangguk. Seisi kelas auto heboh, protes tidak setuju. Tentu semua tahu, menjadi panitia itu capek luar biasa, apalagi acara besar seperti ulang tahun sekolah.

"Semua punya tugas masing-masing per kelompok. Nanti daftar namanya bakal ditempel di mading. Pengumumannya segitu dulu, info tambahan bakal di-share di grup chat masing-masing kelompok."

Rilan beranjak menuju mejanya. Baru saja dia setuju jadi guru les adiknya Quinna, ternyata malah kelas sebelas wajib menjadi panitia. Sekarang, dia hanya berharap tugasnya tidak berat.

"Eh, Lan, trus kelas sepuluh sama dua belas ngapain?" tanya Salsa dan sepertinya mewakili teman-temannya yang lain.

"Kalau nggak salah, kelas dua belas jadi pengisi acara. Trus, kelas sepuluh jadi penonton aja, soalnya mereka masih belum paham seluk-beluk sekolah kita."

"Anjir! Enak banget kelas sepuluh!" ucap salah satu murid cowok.

Sudah pasti banyak yang protes, tetapi apa boleh buat, semuanya keputusan pihak sekolah dan para murid hanya bisa patuh.

***

Istirahat, kali ini bukan kantin yang penuh, melainkan mading. Para murid kelas sebelas berbondong-bondong mencari nama masing-masing di daftar tersebut.

"Fiuh, akhirnya! Kayak antre sembako gratis aja," ucap Salsa setelah dirinya, Aiska, dan Detra berhasil keluar dari kerumunan. Sedangkan kedua temannya, tampak diam-diam saja. "Kenapa, Ai?"

Aiska dan Detra meratapi nasib karena mereka bertiga menjadi panitia bagian dekorasi. Ada juga Dhanan, di antara belasan nama lainnya.

"Kita ini wajah-wajah estetik kah? Kok, dijadiin bagian dekorasi? Gue nggak ngerti sama sekali soal nge-dekor, loh," ujar Aiska mengeluh.

"Tenang aja. Gue sering bantuin Kakak gue nge-dekor, jadi sedikit paham, lah."

"Serius, Sal?"

Salsa mengangguk. "Kebetulan Kakak gue event organizer."

A+R-DWhere stories live. Discover now