"Jadi kamu teman atau pacarnya Djati?" Pertanyaan Anin membuat Denara menghentikan suapan nasi gorengnya.
"Cuma teman mba, kebetulan kami kenal sudah lumayan lama." jawabnya pelan
"Jangan panggil mba, panggil aja Anin. Sepertinya umur kita nggak begitu jauh." Koreksi ibu dua anak itu.
"Eh, iya Anin." Ulang Denara.
"Tapi kalau cuma teman, dia nggak mungkin bawa kamu ke sini. Aku tahu Djati bukan tipe orang seperti itu,"
"Emm, mungkin karena terlalu repot ngurus penginapan, jadi dia pilih ajak aku ke sini."
Denara berdoa dalam hati supaya ada seseorang yang akan menghentikan obrolan canggung ini.
Tapi sayang Djati sedang pergi ke kantor.
Sementara Rani mengantar Lucky dan Lukas ke sekolah."Ka-kamu kenapa nggak ikut nenek antar Lukas dan Lucky ke sekolah?" Tanya Denara mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh itu, sebenarnya aku bukan ibu yang baik."
Ucapan Anin berhasil membuat Denara melongo.
"Ma-maksudnya?"
"Iya, aku dulu gila kerja banget, kehidupanku bebas dan nggak suka terikat sama hubungan rumit. Mungkin karena terlalu lama tinggal di luar negeri."
"Tapi tiba-tiba ngebet pengen nikah gara-gara kena rayuan buaya."
"Udah cinta banget sampai punya dua anak, dia malah selingkuh. Akhirnya kita cerai."
Anin tampak biasa saja menceritakan kondisi rumah tangganya. Meski Denara tahu sebenarnya perempuan itu mengalami trauma.
"Sekarang aku jadi males mikirin mereka, pas Djati kasih penawaran aku sama nenek tinggal di sini, kita langsung setuju."
"Dia juga yang jamin kehidupan anak-anak aku selama keadaanku belum stabil. Tapi sejak beberapa bulan lalu, aku mulai ikut andil untuk urus kerjaan Djati. Jadi paling tidak ada penghasilan sendiri."
"Tapi tetap saja, naluriku sebagai seorang ibu masih belum pulih. Untung ada nenek yang selalu paham kondisiku. Wajar kalau sekarang Lukas dan Lucky lebih dekat sama nenek daripada aku."
"Mereka kembar ya?"
"Iya, nenek Rani dulu memang melahirkan anak kembar. Papaku sama papanya Djati. Jadi gennya memang sudah ada."
"Lalu, orang tua kamu sekarang dimana?" Denara mulai berani berinteraksi dengan Anin. Sepertinya perempuan itu memang klop dengannya.
"Mereka udah nggak ada, kebetulan pergi saat aku masih kecil. Meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu aku tinggal sama nenek di Australia."
Oh, Denara mulai paham sekarang.
"Kemarin maaf ya, pertama kali kamu datang malah disambut cekcok. Aku sama Djati emang kaya gini, ceplas-ceplos kalau ngobrol. Tapi aslinya akur."
"Iya, aku paham. Hari ini kamu nggak ke kantor?"
"Selama Djati di rumah, biar dia yang urus semuanya. Nanti kalau dia sudah pindah, aku yang turun tangan."
"Pindah?"
"Iya, sejak beberapa bulan lalu dia memang ada rencana pindah. Sekarang masih menyelesaikan pembangunan rumah di Jogja. Mungkin beberapa minggu lagi selesai."
"Di Jogja?" Ujar Denara cepat berusaha memastikan pendengarannya tidak salah.
"Loh, kamu belum tahu ya? Katanya tadi kamu juga tinggal di Jogja, kirain udah sering ngobrol soal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...