Bagian 15|| Jalan Pulang

125 22 1
                                    

Ku lelewati jalanan sepi menuju rumahku dengan perasaan yang memendam amarah mengingat kejadian beberapa saat lalu.

Bohong jika aku bilang tak ingin menangis. Saat ini saja rasanya aku ingin segera pulang dan menumpahkan tangisanku di bawah bantal tanpa terdengar seorang pun.

Hati mana yang tak tercubit mendengar perkataan Ardian yang mengatakan secara gamblang bahwa tak akan ada seorang pun pria berniat menikahi perempuan sepertiku. Perempuan membosankan serta pemilik latar belakang keluarga yang berantakan.

SREK...

Aku mempercepat langkahku saat merasa ada seseorang di belakangku saat ini.

"Acha," panggil orang itu membuatku berhenti.

Berbalik badan, aku menatapnya dengan alis berkerut bingung. Dia memanggilku? Tapi namaku Matcha, bukan Acha.

"Ah,, ternyata benar kamu," katanya seolah memang tak salah memanggil.

Siapa dia? Cahaya remang-remang membuatku tak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu.

Menyalahkan senter hpku, ku hadapkan cahaya itu tepat di depan wajahnya hingga membuatnya menutup mata karena silau yang ku berikan.

Aku langsung menjauhkan ponselku kala menyadari siapa dia. Tubuhku menegang kaku, bahkan untuk beberapa detik aku menahan nafas.

"Maaf Kak--" sesalku bersungguh-sungguh. Melihat tinggi badan dan ototnya seketika membuatku merasa kecil dan ciut.

Dia menggeleng sambil tersenyum tipis, terlihat tak masalah dengan tindakan tak sopanku barusan.

"Gapapa, wajar kalau kamu waspada. Tapi tenang aja, aku gak ada niat buruk kok," ucapnya tak ku balas.

Aku tetap menunduk dengan perasaan gugup.

Melirik ke atas guna menatapnya, ku lihat dia memiringkan kepalanya sambil sedikit menundukkan badan agar dapat melihat rautku dengan jelas.

"Gak mau pulang? Ayo aku temenin, jalan kita kan searah," katanya ku angguki pelan sebelum berbalik dan memimpin jalan.

Kak Kalbi tetap berjalan di belakangku. Pria itu tak terlihat mencurigakan sedikitpun. Tak ada pikiran buruk dibenakku padanya. Entah mengapa, namun ku rasa dia tak akan macam-macam. Meski begitu, tetap saja aku merasa canggung berada di dekatnya.

"Kamu udah lama kerja di pertamina?"

"Hah? Ya..?" ulangku berbalik menatapnya, memastikan perkataannya sebab tadi tak fokus saat dia bertanya.

"Udah lama kerja di pertamina?" ulangnya ku angguki pelan meski ekspresi cengoku membuatnya sempat mengulum bibir menahan senyum.

"Iya, dari lulus SMA aku langsung kerja di pertamina," ungkapku lalu meneguk ludah gugup.

"Nggak kuliah memang?"

Aku diam. Pertanyaan kali ini sedikit sensitif untukku yang berkeinginan kuliah di saat teman-teman dan Kakakku bisa, tapi aku tak bisa karena sebuah alasan.

Melihatku tak langsung menjawab serta terlihat kurang nyaman dengan pertanyaannya, Kak Kalbi berdehem pelan sebelum kembali berbicara.

"Aku juga gak kuliah. Bukan karena gak mau. Gak munafik, semua orang pasti pengen kuliah--"

Kak Kalbi menjeda perkataannya saat aku mendongak menatapnya yang berbicara. Bibirnya yang belum sepenuhnya tertutup itu tak melanjutkan ucapannya saat matanya menangkap diriku.

Segera aku kembali berbalik membelakanginya dan melanjutkan langkahku. Sedangkan dia mengusap pelan wajahnya sembari menghela panjang kemudian ikut melangkah.

BENTANG PESAWAT KERTASWhere stories live. Discover now