[17] Dimensi Alternatif

105 42 28
                                    

Begitu pemandangan di sekitarnya berubah, Julian melirik ke sana ke mari seraya berteriak heboh. "Wah, gila! Ini di mana? Ini yang lo sebut dimensi alternatif itu?"

Kini, mereka tidak berada di perpustakaan, melainkan di sebuah ruangan serba merah. Rina mengedarkan pandangannya.

Meski pun semuanya tampak berwarna merah, tempat itu terasa tidak asing baginya. Sofa panjang yang terletak di tengah ruangan, berbagai macam gambar buatan anak-anak yang terpajang di dinding dan lampu gantung yang unik. Ruang tengah ini terasa sangat familier.

Johan meringis seraya memegang lengannya. Darah yang menetes dari lengannya tidak kunjung berhenti meski dia menahannya dengan tangannya yang satu lagi.

Yoshino tiba-tiba membuka kemeja luarnya hingga hanya tersisa kaos oblong, lalu dia mengikatkannya ke lengan Johan tanpa mengucapkan apa pun.

Johan menetap Yoshino tajam. 'Lo gak akan berterima kasih?" tanyanya dengan nada sinis. Melihat reaksi Yoshino yang diam saja, dia kembali berkata, "Udah gue duga lo gak tau terima-"

"Makasih. Lain kali gak usah gitu," ucap Yoshino cepat.

Johan mengerjapkan matanya guna memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Seorang Yoshino baru saja berterima kasih padanya? Di sisi lain, Yoshino merasa lebih aneh. Kenapa Johan yang super egois itu menolongnya?

Setelah selesai mengikat luka Johan, Yoshino berdehem singkat dan menghampiri Rina. "Kenapa raut muka lo gitu?" tanyanya hingga Rina tersentak. Rina kembali melamun, rasanya ia tahu tempat apa itu.

Karena tidak mendapatkan respon dari Rina, Yoshino hendak menelusuri tempat itu. Namun tiba-tiba, Rina memegang lengannya.

"L-lo bilang... dimensi alternatif itu berhubungan sama masa lalu makhluk halus yang terjebak di dalam area?" tanya Rina memastikan dengan sedikit terbata.

Yoshino menautkan alisnya. "Hm," balasnya singkat. Mendengar jawaban Yoshino, Rina tampak cemas. Yoshino tentunya semakin heran. Kenapa Rina terbata seperti itu?

"Berarti, tempat ini dulunya tempat tinggal mahluk itu?" tanya Rina sekali lagi untuk memastikan.

Yoshino menghela napasnya. Ini lah salah satu alasan dia tidak ingin mendapatkan rekan. Dia malas menjelaskan ini-itu kepada orang yang sebelumnya tidak tahu apa-apa. Jika Martin ada di sini, pasti dia yang akan menjelaskan semuanya.

Sayangnya, Martin harus menjaga area, karena jika area terputus, maka semua orang yang masuk ke dalam dimensi alternatif akan terjebak selamanya di sana. Itu lah alasan kenapa Martin tidak bersama mereka sekarang.

"Gak selamanya dimensi alternatif itu tempat mereka tinggal dulu. Bisa jadi tempat mereka meninggal, tempat yang paling berarti bagi mereka, tempat yang paling mereka benci dan lain-lain. Pokoknya yang berhubungan sama masa lalu mereka," Jelas Yoshino cepat dengan nada datar dan tanpa jeda sedikitpun.

Rina, Julian dan Johan melongo mendengar penjelasan Yoshino. Memangnya dia robot?

Rina tiba-tiba tertawa pelan. Ia menutupi mulutnya guna menahan tawanya itu. Tawanya itu menular ke Julian. Johan bahkan memalingkan wajahnya dengan bibir berkedut menahan tawa.

Yoshino tercengang. Dia pikir mereka bertiga adalah orang yang sangat aneh. Mereka sempat menertawakan dirinya di saat mereka berada di dalam tempat berbahaya yang bahkan tidak mereka ketahui.

"Gila!" gumam Yoshino pelan.

Rina dan Julian tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka berdua dan Johan menatap Yoshino tajam. "Apaan? Mereka denger?" batin Yoshino.

Karena menghindari tatapan mereka, tanpa sengaja netra Yoshino menangkap sesuatu. Raut wajahnya seketika berubah. Dia menghampiri salah satu gambar yang terpajang di ruangan itu.

Gambar itu merupakan gambar seorang anak kecil beserta kedua orang tuanya. Anak kecil itu bermain bersama kucing, sang Ibu merajut syal menggunakan benang dan sang Ayah duduk bersender di pohon seraya membaca koran. Latar tempat gambar itu adalah sebuah rumah yang sangat besar. Netra Yoshino bergetar hebat. Napasnya naik turun tak beraturan.

Rina melangkah untuk menengkan Yoshino, namun tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang sekilas.

"Arghh!!!"

Yoshino terlonjak saat mendengar teriakan Rina, Julian dan Johan. Saat menoleh, mereka bertiga sudah tidak ada di sana.

Yoshino berlari penuh kegelisahan untuk mencari mereka. Kemana mereka bertiga tiba-tiba pergi? Kenapa terdengar teriakan?

Yoshino meninggalkan ruang tengah yang luas itu dan menyusuri setiap lorong dan ruangan yang ada di sana. Namun, dia tidak kunjung menemukan mereka.

Napas Yoshino semakin cepat. Dia tidak dapat membendung kegelisahan yang meledak di dalam dirinya. Ruangan-ruangan yang sangat dia kenal membuatnya merasa sesak napas dan pusing.

Seseorang tiba-tiba memeluk Yoshino dari belakang. Tangan yang memeluknya terasa dingin. Yoshino membeku di tempat saat melihat tangan yang memeluknya itu gosong.

Perlahan, Yoshino menoleh ke arah belakang. Seringai lebar perempuan berwajah gosong menyapa pandangannya. Itu adalah perempuan yang tadi di lihatnya di perpustakaan.

"Rupanya kamu sudah ingat tempat ini ya?"

Napas Yoshino semakin naik turun. Perempuan ini... jangan-jangan...

"Bu... Mina?" lirih Yoshino

"Ihihihi... Selamat datang kembali di Panti Asuhan sejahtera, Nak Yoshi!"

***

Rina membuka matanya yang terasa berat. Dimana gue? Batinnya saat menyadari bahwa dia sendirian. Ia tidak terlalu ingat apa yang terjadi terakhir kali, yang ia ingat hanyalah saat dirinya berusaha menghampiri Yoshino.

Rina segera berdiri. Bener juga! Yoshino, Julian, Johan mana? Ia menengok kesana-kemari, namun tidak menemukan keberadaan mereka bertiga.

Saat ini Rina masih berada di dalam ruangan serba merah, namun kali ini tempatnya berbeda dari yang tadi. Ia berada di dalam sebuah kamar yang entah milik siapa.

Rina menyusuri setiap sudut kamar itu dengan benak bertanya-tanya. Kamar milik siapa itu? Kenapa dirinya bisa ada di sana? Matanya tak sengaja menangkap sebuah boneka. Ia hendak menyentuhnya, namun tangannya menembus boneka itu.

"Bener juga! Yoshino bilang apa pun yang ada di dimensi ini gak bisa di sentuh karena ini bukan kenyataan. Ini cuman bayangan dari masa lalu," batin Rina

Rina mungkin akan mengabaikannya saja jika ia tidak mengenal boneka itu, namun ia sangat mengenalnya.

Bagaimana bisa boneka itu di sini? Itu adalah boneka miliknya saat ia masih kecil, yang telah terbakar hangus. Rina merasa lehernya tercekat saat mengingat kejadian itu. 

 Rina kembali memerhatikan seluruh ruangan itu dengan seksama. Kasur, meja belajar, berbagai macam mainan, serta beberapa buku cerita bergambar yang terpajang di rak buku. Semuanya sangat Rina kenal.

Itu adalah tempat Rina sering bermain dahulu, tempat yang paling menyenangkan baginya. Dia sering membawa boneka kesayangannya ketika bermain di sana.

Kamar itu milik seorang anak laki-laki yang senyumannya sangat manis dan menggemaskan. Senyuman itu adalah senyuman yang paling indah di mata Rina saat itu.

"Shino," lirih Rina.

Yoshino, Rina, Julian dan Johan terpisah ke masing-masing tempat yang terkubur dalam ingatan mereka.

Mereka berempat bertemu bukan tanpa alasan, melainkan terikat takdir yang telah terjalin sejak lama.

To be Continued...

Thread of Death ✔️ [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang