Izin

295 39 0
                                    

"Kalo sakit bilang ya." ucap Ginan lembut, tangannya kini sudah siap untuk mengoleskan salep pada luka lebam di pipi kiri Yegan. Sekarang keduanya masih berada di dalam mobil Ginan, sebelumnya kakak sepupunya itu bersikeras untuk mampir ke apotik agar bisa membelikan Yegan obat. 

Yegan hanya mengangguk kecil, otaknya masih berpikir tentang kejadian yang baru saja ia lihat tadi. Matanya menatap dalam pada wajah Ginan sambil sesekali meringis saat pipinya itu terasa sakit.

"Abang, aku pulang aja ya." ucap Yegan, sebenarnya ia sangat takut. Ayah tirinya itu pasti akan memberikannya hukuman yang berat setelah apa yang terjadi tadi.

Ginan yang mendengar itu langsung menatap dalam mata Yegan, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran adik sepupunya itu. Sampai akhirnya ia pun menghela nafas panjang.

"Kenapa emangnya? Kamu ngga mau ya tinggal bareng abang?" ucap Ginan dengan nada yang ia buat selembut mungkin.

"Bukan gitu bang, tapi abang tau sendiri kan. Yegan ngga bisa ninggalin bunda sendirian di rumah bareng orang itu." balas Yegan dengan wajah yang ia tundukan, tak berani membalas tatapan lawan bicaranya itu.

"Buat apa si Gan, dia aja ngga pernah mikirin kamu. Buat apa kamu menderita sebanyak ini buat orang kayak dia." ucap Ginan yang tanpa sadar sedikit menaikkan intonasi bicaranya. Ia tau betul apa yang dialami adik sepupunya itu. 

Raya-ibu dari Yegan adalah seseorang yang sangat mementingkan harta, ia tak pernah benar-benar peduli jika suami barunya itu memukuli anaknya. Walaupun kadang ia juga dipukuli.menurutnya itu tak masalah asalkan bisa hidup dengan bergelimang harta, semua luka itu adalah bayaran yang cukup setimpal.

Dengan alasan itulah saat pertama kali Ginan bertemu dengan Yegan ia dulu sangat membenci anak itu, sampai pada akhirnya ia mengetahui fakta bahwa adik sepupu didepannya itu hanyalah seorang bocah lugu, berhati lembut, dan selalu mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dan itu juga yang membuat Ginan tidak bisa mengetahui kapan perasaan untuk melindungi dan menjaga Yegan tiba-tiba muncul di hatinya, ia menjadi tidak tega melihat anak sebaik adiknya itu harus terus menderita seperti ini. Bocah itu benar-benar membuatnya merasa memiliki seseorang yang harus
ia lindungi.

"Yegan ngga bisa terus ngerepotin bang Ginan lagi." 

"Tapi, kamu sama sekali ngga ngerepotin abang. Kamu tau kan kalo bunda abang juga sayang sama kamu." 

Memang benar bahwa bunda Ginan sangat menyayangi Yegan, bahkan bundanya itu sudah menganggap Yegan seperti putranya sendiri. Tapi bagaimanapun keadaannya, menurut Yegan ia harus tau diri. Ia tidak bisa membuat kedua keluarga itu bertengkar hanya untuk dirinya, maka dari itu ia tak mau melibatkan kakak sepupunya itu lebih jauh.

"Yegan udah biasa bang, abang ngga usah khawatir. Yegan ngga mau buat abang dimarahin lagi sama om Gian." ucap Yegan, ia tau bahwa keluarga kakak sepupunya itu sangat menyayanginya, tapi itu juga tak bisa membuat Ginan bersikap tidak sopan kepada yang lebih tua kan. Sebenarnya pamannya itu sudah berusaha untuk menasihati adiknya, tapi mau bagaimanapun seseorang peduli, mereka juga tidak boleh terlalu ikut campur pada masalah rumah tangga orang lain bukan. Apalagi saat orang yang bersangkutan pun tak merasa keberatan.

"Abang ngga peduli dimarahin sama ayah, toh ayah ngga akan pernah mukul abang. Sekarang yang harus kita pikirin itu kamu, abang ngga mau liat kamu babak belur kayak gini terus." ucap Ginan menatap mata Yegan dalam, tangannya mengusap puncak kepala adik sepupunya itu.

"Tapi bang-" belum sempat Yegan melanjut kan kata-katanya, Ginan langsung menyela.

"Yaudah kalo kamu ngga mau tinggal di rumah abang, kita berdua ngekos aja." final Ginan akhirnya, sebenarnya ini adalah keputusan terakhir yang ia pikirkan karna tau adiknya itu tidak akan mau tinggal di rumahnya. Saat melihat wajah Yegan yang hendak menolak, Ginan lebih dulu menyela.

"Abang ngga nerima penolakan, atau mau ngga mau kamu harus tinggal di rumah abang." ucap Ginan tegas yang akhirnya hanya bisa di balas dengan anggukan lemah adiknya itu, sebenarnya dalam hati, Yegan sendiri masih memikirkan ide bagaimana cara untuk menolak ajakan kakak sepupunya yang keras kepala ini.

Mendapat anggukan setuju, Ginan segera bersorak dalam hati. Kemudian ia segera mengambil telpon genggam yang berada di sakunya. Tangannya dengan gesit mengetik dan mencari nomor seseorang yang akan di hubunginya, tak membutuhkan waktu lama orang di sebrang sana segera menjawab.

"Halo, iya Ginan kenapa?" ucap suara perempuan di sebrang sana.

"Tante, aku mau bawa Yegan ngekos." ucap Ginan tegas, ia sudah bersiap memakai kata-kata pemaksaan jika saja orang itu hendak menolak keinginannya. Tapi setelah beberapa saat tak ada jawaban, akhirnya suara helaan nafas panjang terdengar.

"Iya, tante minta tolong juga jagain dia ya." ucap Raya kemudian. Ginan sebenarnya masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar tapi saat hendak memastikannya lagi sambungan telepon itu sudah terputus.

Sebenarnya ia bisa saja langsung membawa Yegan pergi, tapi melihat anak itu yang sangat menyayangi sang bunda, mau tidak mau membuat Ginan akhirnya berfikir bahwa setidaknya ia harus mencoba meminta ijin kepada sang tante.

Bertepatan dengan Yegan yang baru saja tersadar dari lamunannya. Anak itu segera membuka mulutnya.

"Abang tapi bunda pasti ngga bakal izinin aku buat ngekos." ucap Yegan pelan, ia sudah tak bisa menemukan alasan lain di pikirannya saat ini.

"Abang udah izin, katanya boleh." ucap Ginan kemudian, membuat Yegan yang mendengar itu sontak memperlihatkan wajah terkejutnya.

Rumah Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang