3

5.7K 864 43
                                    

Kabar baik pada Senin, yang biasanya mematikan, bahwa semua orang terkesan dengan gaya rambutku.

Kabar buruk, well tidak ada yang sempurna, Queen langsung menembakku dengan pertanyaan: “Kenapa kamu nggak numpahin minuman ke Riana?”

Sebagaimana mental penindas, Queen memojokkanku. Caranya? Dia mengejarku. Nggak sungguhan kejar ala maling, tapi yaaa begitulah. Notabene, aku baru duduk. Pantatku baru saja mencium kursi, tapi Queen langsung memilih menyerangku. Bagus sekali. Kuberi lima bintang untuk totalitas antagonis, bintang satu untuk pelayanan tidak ramah.

“Kamu berani mundur?” Queen mendesis. “Pengecut.”

Di kampus tidak ada satu anak pun yang tidak mengenal Queen Eles. Dia cantik, tinggi, memiliki tubuh seksi, dada bulat sempurna, kulit mulus, bibir sensual, rambut mengombak ala iklan perawatan rambut, dan segala kesempurnaan.

Satu kekurangan Queen: otaknya. Aku serius. Otaknya.

“Padahal kamu cuma tinggal numpahin,” desisnya dengan nada keji. “Semudah itu.”

Kudengar papanya Queen termasuk salah satu orang yang diperhitungkan dalam industri hiburan. Barangkali karena itulah si Queen ini suka bertingkah.

“Tahu nggak, Queen? Lupakan soal memasukkanku ke kelompok elitemu. Lagi pula, aku nggak berminat mengejar sensasi apa pun.”

“Gara-gara kamu, kepecundanganmu, si Riana bisa berduaan dengan Milo!”

Kuputar bola mata. Drama sekali sih?

“Ampun deh, Queen. Riana itu seniman, penyanyi. Apa salahnya sih kalau dia dekat dengan Milo? Omong-omong, Riana udah dewasa, 25 tahun. Kamu dan aku, sembilan belas tahun. Apa umur sekadar angka saja bagimu? Oh ya, Milo? 28 tahun! Kita nggak ada artinya di mata seorang pria.” Aku berdeham. “Pria, bukan cowok.”

Milo sepantaran dengan Carl, kakakku. Mereka tidak butuh pacar. Yang mereka butuhkan: calon istri.

Apa Queen tidak bisa fokus belajar saja? Soalnya aku berencana jadi kreator terkenal. Jurusan yang kupilih, seni budaya, aslinya aku orang yang tidak berbudaya. Hahaha.... Eh?

“Kamu akan menyesal,” Queen mencemooh. “Grup yang kamu abaikan ini akan mengantarmu menuju kesuksesan usai kamu menyelesaikan kuliah. Apa kamu masih berani meremehkan tugasmu?”

“Kolusi? Nepotisme? Dih nggak usah. Ada banyak pekerjaan yang nggak membutuhkan pintu belakang. Apa kamu lupa siapa papaku? Abangku pun nggak gabung grup elite apa pun. Nyatanya? Dia kerja. Eh mau kenalan dengan abang—”

Queen memukul kursiku. Keras! Tawaranku sepertinya tidak menarik. Padahal Carl baik, tapi sepertinya harganya rendah di mata Queen.

“Kamu tolol!”

Aku dikatai tolol oleh cewek yang bahkan tidak paham membedakan musuh dan masalah. “Terima kasih,” sambutku dengan nada riang ... terlalu ceria.

Queen meninggalkanku, begitu saja, dan membuatku jadi tontonan menyedihkan.

Ah biarlah. Setidaknya rambutku keren.

***

Bukannya langsung pulang, aku memilih mampir ke toko buku. Berhubung uang saku dari Papa, yang mengira aku baru saja putus, ternyata jumlahnya luar biasa menggiurkan.... Oke, aku mau jajan buku.

Pada dasarnya aku mengincar kumpulan dongeng lawas. Buku tebal yang di dalamnya berisi ilustrasi berwarna. Dulu aku tidak mau beli karena membaca sepertinya bukan kegiatan keren. Dulu. Itu duluuuuuuuu! Sekarang sih masa bodoh dengan pandangan orang terhadapku. Mereka tidak membiayai hidupku dan aku tidak wajib mendengarkan semua keluhan “hidup mereka” yang ditembakkan kepadaku.

TARGETNYA SALAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang