Jangan menyerah. Itulah keyakinan yang coba kutanamkan kepada diri sendiri bila berurusan dengan “mencari uang”. Ya mau bagaimana lagi? Didikan pejuang uang yang berbunyi, “kami tidak boleh menyerah sebelum dapat uang”. Begitu.
Singkatnya, ya, aku memiliki pengikut yang tidak sedikit di Coconut. Cukup bagiku menarik perhatian Coconut terhadapku. Maka dari itu, ketika aku mengajukan proyek narator di Coconut ide tersebut disambut baik.
Oleh karena itu, akun proyek seni kerajinan tanganku pun harus dipisahkan dari proyek menjadi narator. Sebetulnya Coconut sendiri pun telah membuat pojok khusus terkait perbukuan. Di sana telah berjejal sejumlah orang berbakat yang bekerja di bidang perbukuan dalam format suara maupun visual. Sebut saja deklamasi puisi, dongeng, drama, dan sejumlah karya lainnya.
Nah khusus pekerjaan yang kuinginkan ialah, menjadi narator saja. Aku nggak tertarik melibatkan diri di proyek besar. Belum, setidaknya. Untung pihak Coconut, setelah memberiku tugas sebagai tes menguji kecocokan dengan permintaan mereka, langsung menawariku kontrak.
Aku diminta menjadi narator sebuah novel. Uang yang kudapatkan pun lumayan menggiuarkan. Hahaha intinya sih aku menyukai pekerjaan yang tidak mengharuskanku berperang di garis depan. Bekerja di belakang layar, dapat uang lumayan, dan nggak perlu pamer wajah. Wohoooo idamanku.
Oke, maafkan aku yang melantur. Kembali ke pekerjaan. Coconut mengharuskanku melakukan pengambilan suara di studio milik mereka. Persis orang mau rekaman lagu sih. Bedanya, lirik lagu milikku setebal 245 halaman lebih!
Kupikir pengikutku bercanda ketika mengutarakan keinginan mendukung diriku di bidang lain. Ternyata mereka sungguh memberi semangat dengan cara mendengarkan buku yang menjadi tanggung jawabku di Coconut. Padahal untuk mendengar episode terbaru dalam buku tersebut mereka setidaknya harus menggelontorkan uang yang nominalnya setara secangkir kopi di kafe.
Aku kehabisan kata-kata.
Entah bagaimana ceritanya, dari narator aku pun diminta kerja sama dengan sejumlah penulis. Puisi. Bayangkan aku harus membacakan puisi! Tentu saja mendeklamasikan sebuah puisi tidak sama dengan deklamasi puisi yang modal teriak! Bukan itu yang kusukai!
Aku suka membacakan puisi dengan cara lembut. Seakan sedang bicara dengan seseorang dan berusaha menyampaikan isi dalam puisi tersebut. Cara tersebut ampuh. Untukku sih ampuh.
Lantas kemudian diriku melejit dan mau tidak mau nama asliku pun terkuak ke media. Coconut berbaik hari tidak memublikasikan fotoku. Namun, salah satu stasiun televisi mengundangku! Dengan begitu berakhirlah masa sembunyi di sarang.
Menolak?
Bisa sih, tapi bayaran jadi bintang tamu di stasiun televisi, kan, menggiurkan. Kapan lagi aku dapat uang sebesar itu hanya modal duduk manis dan menjawab pertanyaan? Toh aku bukan artis setenar Riana yang perlu berhati-hati kalau ada cewek segila Queen?
Uang. Demi uang aku akan berjuang sekuat tenaga sekalipun ingin menangis ketika letih! Sialan aku ingin jadi anak sultan!
Tahu, enggak? Apa yang membuatku makin ingin meraung? Ternyata di stasiun televisi bukan hanya mengundangku, melainkan orang lain juga.
“Boleh tanya sedikit mengenai rasanya menjadi putra seorang komikus terkenal?”
Cewek yang bertugas sebagai pembawa acara melontarkan pertanyaan kepada Owen. Iya, nggak salah. Owen. Dia duduk di sampingku, mengenakan kemeja dan celana, kemudian tampil sempurna hingga membuat sebagian cewek yang ada di studio mencair jadi genangan air.
“Sebenarnya nggak ada yang spesial,” jawab Owen. Sekali lagi dia pamer senyum cerah sempurna bagai matahari membakar asmara. “Justru saya nggak merasa ada yang istimewa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
TARGETNYA SALAH (TAMAT)
RomanceAku hampir saja membuat kesalahan besar. Sangat BESAR. Tuliskan dengan huruf kapital tercetak tebal. Besar! Jenis kesalahan yang bukan hanya mengancam keselamatanku, melainkan menyeret keluargaku kepada kehancuran. Pokoknya masalah deh. Untung benca...