Carl masih saja uring-uringan. Dia persis anjing yang lupa lokasi lubang yang ia gunakan mengubur tulang kesayangan. Hanya saja anjing sangat manis dan enak dipeluk, sementara kakakku nggak ada manis-manisnya dan tentu saja nggak asyik buat kupeluk.
Tahu, apa yang paling parah dari Carl?
Semenjak undangan makan malam di kediaman Gauthier, Carl makin berulah. Dia selalu saja mampir ke kamarku, sekadar cek sambil ngomong, “Kamu nggak ada rasa ke Owen, ‘kan?” Yang tentu saja kujawab asal, “Nggak.”
Bohong.
Dulu aku yakin seratus persen tidak ada perasaan apa pun kepada Owen. Namun, semenjak kejadian di perpustakaan, ada sesuatu dalam diriku yang berubah. Sesuatu itu seperti sebutir biji yang mulai berkecambah, tumbuh, dan menebarkan riak kegundahan dalam hati.
Aku kesulitan mengartikan perasaan yang ada dalam diriku. Tepatnya, aku takut terlalu berharap. Jangan sampai aku terlalu percaya diri, ekspektasi tinggi, dan tidak berpikir logis.
Orang yang jatuh cinta biasanya sibuk dimabuk asmara hingga lupa daratan. Naaah aku nggak mau jatuh cinta yang seperti itu! Enggak mau seperti Queen. Lihatlah dia. Masuk dunia hiburan, ditolak jadi penyanyi, pantang menyerah dan kini kudengar dia mencoba seni peran. Gila, bukan? Demi Milo?
Oleh karena itu, aku ingin menyegarkan kepala. Iya, menyegarkan kepalaku dengan cara mengamini permintaan Owen bertemu di salah satu pusat perbelanjaan.
“Biasanya cewek suka belanja,” kata Owen, menunjuk butik yang memamerkan sejumlah maneken. Setiap maneken mengenakan pakaian indah yang kujamin harganya tidak akan disukai oleh dompet milikku.
“Hah?” ucapku, termangu. Selama beberapa saat otakku kehilangan kemampuan memberi saran.
Ujung bibir Owen terangkat, membentuk seulas senyum. “Aku bicara mengenai belanja. Kamu tahu, ‘kan, biasanya cewek suka belanja? Apa kamu nggak ingin membeli sesuatu?”
“Ke-kenapa? Beli? Apa yang harus kubeli?”
“Mamaku, berdasar penuturannya, sering mendapat hadiah dari Papa.”
Nggak perlu detail. Aku tahu kalau Ivan membelikan semuanya tanpa diminta oleh Hana. Jenis cowok yang akan kutangisi siang dan malam: loyal, pengertian, dan tidak pelit. Ada di mana cowok seperti itu? Kupukul ponsel dan berdoa bisa merasuk ke dunia cerita pun nggak mungkin ... eh, kan sekarang aku berada di dunia tersebut. Gimana, sih?
“I-iya,” kataku, terlalu gugup memilah kata yang cocok.
Oh berdiri di samping Owen memang tidak baik bagi kesehatanku! Jantungku sibuk berteriak, “Kyaaaaa! Nggak sanggup! Tolong! Tolong aku!”
Salah satu alis Owen terangkat, membuat kedua matanya yang berbinar jenaka pun makin menarik. “Iya? Kita bisa belanja. Kamu tinggal tunjuk dan aku yang bayar.”
“Eh? Jangan begitu!” ucapku cepat, mendadak otak kembali berfungsi. “Aku nggak ingin belanja kok. Kamu nggak perlu menawarkan apa pun. Serius.”
“Atau kita bisa lihat-lihat?” Owen menawarkan. “Melihat nggak akan membunuhmu, ‘kan?”
Melihat Owen bisa membunuhku! “Nggak!”
“Yakin?”
Aku mengangguk. “Seratus persen kujamin sebaiknya kita nggak perlu masuk ke butik.”
“Oke, kita bisa langsung ke toko yang kamu incar.”
Semangat dalam diriku pun makin meletup.
Itulah rencananya. Aku ingin berbelanja bahan!
KAMU SEDANG MEMBACA
TARGETNYA SALAH (TAMAT)
RomanceAku hampir saja membuat kesalahan besar. Sangat BESAR. Tuliskan dengan huruf kapital tercetak tebal. Besar! Jenis kesalahan yang bukan hanya mengancam keselamatanku, melainkan menyeret keluargaku kepada kehancuran. Pokoknya masalah deh. Untung benca...