1.8 Kenapa Harus Cemburu? ✔

7 2 2
                                    

Di kota yang terpanggang matahari, jendela-jendela tertutup rapat mencoba menahan panas yang menembus dinding. Lelahnya bekerja demi kebutuhan hidup, peluh yang membanjiri tubuh. Rasa haus yang timbul, dua pemuda sedang menyibukkan diri di dapur. Membuat minuman untuk menyegarkan tenggorokan yang terasa kering.

"Sudah siap?" tanya Rakha pada adik bungsunya.

"Tentu, aku sudah siap, Mas Rakha!" balas Deden.

"Ok. Hati-hati bawa nampannya, gelas yang dibawa tidak sedikit," Rakha memperingati.

"Tenang saja, Mas. Mas Rakha seperti tidak biasa saja melihatku bawa banyak gelas seperti ini, kita berdua kan sudah langganan," balas si bungsu santai.

"Aku hanya memperingati mu supaya berhati-hati." Rakha membawa nampan satunya hanya dengan menggunakan satu tangan.

"Sepertinya kamu yang harus berhati-hati, Mas. Err, takut jatuh aku mah." Deden bergidik ngeri membayangkan gelas-gelas yang dibawa Rakha pecah.

Merasa gemas dengan ekspresi si bungsu, Rakha membelai surai adiknya dengan satu tangannya lagi yang menganggur. Tangan kekar itu tiba-tiba berhenti, indra pendengarannya yang sensitif mendengar sesuatu. "Seperti ada suara ribut-ribut di ruang tengah. Coba kamu dengarkan baik-baik."

Berdiam untuk mendengarkan sesuatu yang tidak bisa dia dengar, Deden berkata, "Aku tak mendengar apapun."

"Ayo kita ke ruang tengah sekarang," ajak Rakha.

Kaki yang terus berjalan, semakin mereka dekat dengan keributan. Suaranya semakin jelas, bahkan Deden sudah bisa mendengarnya.

Saat tiba di ruang tengah, keduanya terkejut bahagia. Deden menaruh nampan yang dibawa dengan tergesa-gesa di atas meja, lalu memeluk erat seseorang yang menghilang tanpa kabar dan kembali tanpa ada peringatan. Suara isak tangis terdengar bersamaan dengan pemiliknya yang berbicara. "Kang Janari, akhirnya Akang kembali juga. Akang tahu? Kami semua mengkhawatirkan mu. Maafkan aku karena tidak bisa melindungi."

"Sudahlah, aku tak pernah menyalahkan siapapun. Jangan menangis, aku kembali tanpa kurang apapun." Membalas pelukan adik kesayangannya, Janari mengusap punggung Deden yang terus bergetar.

"Cih, dia bersandiwara. Berlagak jadi orang yang merasa paling bersalah," gumam Amar menatap sinis pada dua insan yang sedang berpelukan.

"Sepertinya, kau memang hobi memancing amarah Deden. Lebih baik sebelum bicara, kau saring dulu kata-kata yang akan keluar dari mulut pedas mu itu," bisik Bowo tegas dan menatap Amar dengan datar.

"Dari dulu, aku memang tidak suka dengan dia," balas Amar berbisik dan tersenyum remeh. Membuat lawan bicara kaget namun tetap menahannya dengan tetap berekspresi datar.

Satu persatu dari mereka mulai saling berpelukan, membentuk lingkaran yang terlihat indah. Lima menit berlalu penuh drama.

"Kang, your parents menelepon. Katanya want to talk sama Akang. Gih sana, mereka sudah menunggu!" tutur Bonon memberitahu.

"Benarkah? Aku akan berbicara dulu dengan mereka." Janari mendekatkan diri ke arah telepon kabel dan mulai mengetik nomor telepon orang tuanya.

"Setelah selesai, pergilah ke ruang pertemuan, kami semua ada di sana." Wisesa menepuk pundak Janari dan memberi seulas senyum. Setelahnya semua orang pergi meninggalkan Janari seorang diri.

"Halo," sapa Janari memulai pembicaraan.

"Akhirnya kamu menelepon kami juga. Kenapa lama sekali?" protes Bimo.

Amor (the musician's amorous turmoil)Onde histórias criam vida. Descubra agora