Ch. 33: Counting

54 8 0
                                    

Sore hari, sebelum matahari terbenam, seseorang yang memperkenalkan diri dengan nama Lingga datang menemui Angie. Umurnya pertengahan empat puluh. Wajahnya lonjong, rambutnya hitam keabu-abuan dan sudah menipis di sisi telinga. Tubuh kurusnya terbungkus setelan rapi tanpa satu pun kerut. Sorot matanya tajam dan ekspresi wajahnya penuh hormat. Meski begitu, Angie tidak mempersilakan pria itu masuk sebab ia hanya sendirian di rumah. Nawa sedang pergi ke pertemuan dasawisma. 

Angie hanya membuka pintu dalam celah selebar dua jengkal saja. 

“Saya datang atas nama atasan saya," Lingga memulai dari depan pintu karena Angie tidak mempersilakannya masuk. “Kami sudah dengar bagaimana Nona menyelesaikan perselisihan yang berlarut antara Bapak Surip dan Ibu Sumirah.”

“Itu bukan hal besar,” Angie menyahut dari celah pintu. “Mereka berdua saudara, sejak awal tak ada perselisihan. Saya cuma membantu mediasi.”

Lingga mengulaskan senyum tipis. “Bagaimanapun juga, itu hal yang mengesankan. Jika Nona bersedia, kami mengundang Nona untuk makan malam bersama di rumah Bapak Gurnadur Umulbuldan, di Jalan Kayu Manis. Besok lusa. Pukul delapan."

Debar jantung Angie menguat. Ia menatap kertas surat kaku yang disodorkan Lingga dengan menggunakan dua tangan, kemudian pandangannya pindah menyapu sekitar. Tak ada orang lain. Di sudut jalan terdapat windsor limo putih gading. Ia belum pernah melihat mobil itu sebelumnya. Seseorang ada di dalam sana, menunggu di belakang. 

“Berhubung hanya Nona Angelica yang diundang,” Lingga mengingatkan saat Angie menerima kertas tersebut. “Jadi kami berharap pembicaraan ini disimpan untuk Anda.” 

“Tidak baik bagi seorang gadis untuk pergi malam-malam tanpa diantar seseorang,” Angie berkata. “Jika boleh, saya ingin datang bersama tunangan saya. Namanya—"

“Toska Effendi,” Lingga menyelesaikan. Punggungnya ditegakkan. Ia menoleh sedikit ke arah limo di sudut jalan, kemudian kembali menatap Angie dengan kedua mata kelabunya yang tajam terlatih. “Nona, antara kita saja, saya yakin Anda tahu seperti apa Toska Effendi. Dia berpura-pura menjadi orang kelas atas, tapi sebenarnya hanya pimpinan begundal jalanan, putra lintah darat. Atasan saya—"

“Hati-hati kalau bicara,” Angie memotong tajam. Tangannya meremas undangan di tangan. Ia membuka pintu lebih lebar, menunjukkan dirinya dalam satu frame penuh: hanya gadis biasa tanpa senjata, tanpa perlindungan, tapi matanya menyala-nyala seperti kobaran api. “Yang sedang Anda bicarakan itu tunangan saya."

Lingga terdiam. Senyum kembali terulas di bibirnya meski matanya tidak ikut melengkung. “Melihat bagaimana Nona membelanya demikian, saya yakin Anda belum mendengar identitas sejatinya. Atau apakah berita di koran belum mencapai telinga Anda?” 

Jantung Angie memanas di setiap dentum, melonjak antusias. Ia harus berusaha sangat keras menahan diri agar sudut bibirnya tidak terangkat naik. Ini dia. Ini yang ia inginkan. Ia bukan membantu Sumirah dan para wanita di sekitarnya untuk amal belaka. 

Keluarga Effendi punya banyak musuh. Salah satu yang sedang bertikai dengan mereka, yang selalu disalahkan oleh setiap anggota keluarga tersebut, adalah Gentala. 

Angie ingin bertemu dengan pria itu, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Kalau ia mengetuk pintu rumah Gentala dan mengaku sebagai anak haramnya, petugas keamanan pasti akan mengusirnya. Gentala pasti menganggapnya berada di pihak Effendi. Namun dengan menyelesaikan konflik-konflik kecil dan mengangkat namanya di masyarakat sekitar, Angie berhasil menarik perhatian Gentala sekaligus menciptakan alasan agar mereka bisa bertemu. 

Jika Gentala memang musuh yang sepadan untuk keluarga Effendi, pria itu pasti juga sudah menyelidikinya sekarang, dan mengetahui bahwa Angie adalah putri kandungnya. 

Cages: The Mafia's BrideWhere stories live. Discover now