Ch. 21: An Innocent Request

574 39 0
                                    

Ada banyak hal yang ingin ditanyakan Angie, tapi ia harus berhati-hati. Hasil autopsi Karkun masih jelas dalam ingatannya. Bagaimana kalau Toska mengamuk dan menjadikan Andi bernasib sama? Maka Angie menuruti saran Nawa dan mencoba sebisa mungkin menenangkan Toska. 

“Kalau Paing menyuruhmu melakukan sesuatu lagi, bilang dulu padaku," pinta Toska. “Kadang-kadang dia sedikit … tak bisa ditebak. Aku tak ingin ada kesalahpahaman di antara kita.” 

“Kau tidak akur dengannya, Effendim?” 

“Biasa saja. Kami jarang bicara. Dia lebih sering bersama ibuku, membantu urusan-urusan koperasi.” Toska menatap arloji, menyadari ia sudah terlalu lama berada di sini. “Baiklah, aku pamit dulu. Kalau kau ada waktu besok … mau jalan-jalan bersama?” 

Sebenarnya Angie ingin membaca-baca majalah di kamarnya, tapi ia yakin paman dan bibinya sekarang sedang menempelkan telinga ke lantai selasar tepat di atas ruang tamu, menguping pembicaraan mereka. 

“Tentu. Jam berapa?” 

“Apa jam delapan terlalu pagi?” 

“Aku biasa bangun jam lima, tak masalah.” 

“Baiklah. Sampai bertemu besok. Ah, paman dan bibimu?” 

“Mereka di atas.” Angie menengok ke arah tangga, tak tertarik bolak-balik memanggil kedua orang tersebut. “Kau pasti lelah, Effendim. Mau tidur di sini?” 

“Bagaimana?” Toska terperanjat. 

Di atas mereka, sesuatu bergedebuk keras, membuat kaca jendela dan langit-langit bergetar. 

“Pasti kucing di loteng,” ucap Angie. “Sekarang sudah lewat tengah malam," lanjutnya. "Perjalanan pulang makan waktu lebih dari dua jam. Di luar gelap … kami ada kamar tamu yang bersih. Aku sendiri yang merapikannya setiap hari.” Karena bersih-bersih rumah adalah tugasnya. 

“Aku biasa pulang jam segini, tak pernah ada masalah." 

“Oh.” Angie kecewa. Suara gedebuk keras barusan jelas Hasta. Pria itu pasti menyenggol sesuatu saking kagetnya. Paman dan bibinya memang sedang menguping. Itu berarti mereka mendengar pembicaraan di ruang tamu—yang berarti juga soal pertemuannya dengan Andi. Ketika pamit hari ini, Angie berbohong dengan bilang ia hanya mengembalikan buku ke perpustakaan dan keasyikan membaca. Hasta dan Nawa pasti akan memarahinya berjam-jam atau memberinya hukuman. 

Namun jika Toska ada di sini, paman dan bibinya tidak akan berani macam-macam. Ia sudah sangat mengantuk dan membutuhkan tidur nyenyak, bukan hukuman. 

“Tapi kau benar, kurasa … kurasa sekarang terlalu malam,” Toska berkata lagi. “Aku benar-benar boleh menginap?” 

Angie mengangkat wajah dengan lega. “Sungguh? Kau mau? Aku bisa mengantarmu ke kamar sekarang!” serunya. Ia menarik lengan Toska dan menggeretnya pergi ke lantai dua. Selama lelaki itu ada di sampingnya, Hasta dan Nawa tak akan bisa berkutik. “Aku akan memasakkan makanan kesukaanmu besok,” katanya keras-keras, hanya agar paman dan bibinya mendengar kedatangan mereka. “Kau suka apa, Effendim?” 

“Apa masakan keahlianmu? "

“Aku bisa buat nasi goreng udang yang enak." 

“Itu kesukaanku.” 

Angie membawa Toska ke hadapan paman dan bibinya, yang kelihatan sumuk dan tersengal, jelas-jelas baru saja lari dari lorong di atas ruang tamu ke kamar mereka sendiri. Melihat Toska memang ingin menginap, tentu saja Hasta dan Nawa tidak menolak. Nawa menutup pintu kamar tidurnya rapat-rapat di belakang punggung dengan alasan kamarnya berantakan. Angie tahu wanita itu hanya ingin menyembunyikan semua koleksi parfum, syal, serta topi pemberian Toska yang dirampas darinya. 

Cages: The Mafia's BrideWhere stories live. Discover now