Ch. 35: Deductions

51 7 0
                                    

Selepas kepergian Toska, Angie mengunci pintu dan jendela, mengucapkan selamat malam pada bibinya yang menunggu dengan cemas di puncak tangga, lalu masuk ke kamar tidurnya untuk berpikir.

Dari kejadian hari ini, ada beberapa hal yang dapat ia simpulkan. 

Satu, ada yang mengatur agar sekelompok masyarakat datang mengacau di rumahnya. Ini bisa dilihat dari cara Toska bertanya siapa yang menyuruh orang-orang tersebut datang, seakan sudah menduga bahwa kerumunan tadi terorganisir. Angie mungkin naif, tapi ia tidak buta. Tentu saja ia bisa melihat ada yang tidak wajar dengan kumpulan malam ini. Rasanya tidak organik. Tatapan mata mereka berbeda dengan cara Sumirah atau para wanita yang memang membutuhkan bantuannya memandang. 

Dua, Toska menuduh Gentala terlibat dalam kematian Karkun. Ini senada dengan tuduhan Lilac. Angie tidak mau percaya mentah-mentah berhubung sepertinya baik Gentala maupun Effendi selalu menyalahkan satu sama lain untuk segala hal buruk yang terjadi di kota sekecil Umulbuldan. Lilac menuduh Gentala membunuh Karkun lalu menimpakan kesalahan pada Toska sementara Lingga menuduh Toskalah yang membunuh Karkun dan Paing terlibat memanipulasi kepolisian. Masing-masing mengaku punya bukti, tapi tak ada yang menyerahkannya pada penyidik dengan alasan takut pihak lain menghancurkan barang bukti. 

Tiga, rumahnya memang diawasi ketat oleh mata Effendi. Seseorang melihat limo putih berhenti dan melaporkannya pada Toska. Mungkin orang itu juga yang memberitahu Toska mengenai kerumunan tak wajar malam ini. Tapi siapa orangnya? Angie merasa sesak. Bernapas pun susah dalam kehidupan yang seperti penjara macam ini. Ia mulai paranoid setiap bertemu mata dengan orang lain, takut mereka sedang mengamatinya, mencari-cari hal untuk dilaporkan pada orang lain. 

Apakah ia harus terbiasa dengan hal semacam ini jika menjadi bagian dari keluarga Effendi? Bagaimana orang-orang bisa hidup dengan tenang dalam lingkungan yang saling memata-matai satu sama lain? 

Angie sempat tergoda menyewa detektif partikelir untuk menyelidiki kematian Karkun. Namun ia tidak punya kenalan bagus, juga tidak tahu harus mulai dari mana. Lagi pula, banyak orang mengawasinya. Bisa-bisa detektif sewaannya malah menghilang ditelan bumi seperti Andi. 

Mulai dari yang bisa kulakukan saja, Angie memutuskan dalam hati, dari tiga hal yang baru saja kutemukan, ada satu yang bisa kuselesaikan.

Mencari tahu siapa pembisik Effendi di lingkungan ini. 

***

“Kau mau membagikannya pada tetangga lagi?” Nawa bertanya begitu mencium aroma adonan kue. Bayangan hitam muncul di bawah matanya yang cekung. “Aku mulai merasa kita berlebihan. Seharusnya tidak usah membagi-bagikan sebanyak itu pada orang lain. Biar saja membusuk di gudang.” 

“Yang ini untuk Toska,” Angie menjawab. “Kemarin dia minta dibuatkan lagi.” Ia menunjuk tiga bungkus kecil di atas meja. “Kue-kue kering itu untuk tetangga, karena kemarin kita membuat keributan, aku cuma mau bersopan-santun. Paman tidak berangkat kerja hari ini?"

Nawa menggeleng. “Kami akan ke klinik dulu. Sakitnya tak tertahankan, pamanmu tidak bisa tidur semalaman. Jadi apa rencanamu hari ini? Kau akan menemui Toska? Di mana?" 

“Dia yang akan menemuiku." 

“Kapan? Kau mau kencan dengan pakaian begitu?” 

“Kenapa pakaianku?” Angie mengenakan gaun putih polos dengan vest warna tanah membungkus torsonya. Menurutnya itu bagus. Pakaiannya bersih dan rapi. 

“Kalau pakai rompi itu, payudaramu kelihatan kecil,” Nawa berkata gamblang, tak peduli meski ucapannya membuat wajah Angie merah padam. “Ayo ke kamar, kau punya korset, kan? Apa ada gaun lain yang lebih bagus? Bukankah Toska membelikan gaun untukmu?” 

“Memang, tapi terlalu mewah,” Angie menolak. Memangnya kenapa kalau dadanya kecil? Ia cukup puas dengan bentuk tubuhnya sendiri. “Semua gaun darinya lebih pantas dipakai ke gereja. Aku tidak mau terlalu heboh, Bibi. Itu memalukan.” 

“Memalukan apanya?!” Nawa menggeret lengan Angie dari dapur ke lantai dua. “Kau berdandan untuk tunanganmu sendiri, kenapa bisa jadi memalukan? Dia akan senang melihatmu tampil cantik. Jangan sampai perempuan lain membuatnya berpaling darimu! Banyak wanita rela melakukan apa pun untuk mengambil posisimu!"

“Biar saja wanita-wanita itu mengambilnya,” gumam Angie, “kuberi bonus semua mata-mata Effendi sekalian.”

“Apa?” Nawa menoleh. 

“Apa?” balas Angie dengan wajah tak berdosa. 

“Jangan bicara aneh-aneh,” Nawa menegur. “Ingat apa yang pernah kubilang padamu?” 

“Ingat, Bi … "

“Yang mana?” 

Hanya ada satu wejangan yang sesuai dengan konteks percakapan ini. “Ucapan adalah doa,” Angie menjawab datar. 

“Tepat! Apa yang akan kau lakukan kalau Toska benar-benar direbut wanita lain? Saat itu baru kau menangis!"

“Pria sejati tidak mungkin bisa direbut siapa pun. Mereka bukan barang," sahut Angie pelan. Ia segera menambahkan begitu bibinya melotot, “Itu kutipan dari buku."

“Kau dan buku-bukumu!” Nawa menggerutu. Ia membuka pintu kamar Angie dan mendorong gadis itu masuk, lalu membantunya berbenah ulang.

***

Angie membagikan kue sebagai alasan untuk berkeliaran di sekeliling rumah, mencari posisi yang tepat untuk melihat titik limo putih kemarin terparkir. Orang yang melapor pada Toska hanya melihat limo tersebut, tapi tidak melaporkan soal Lingga. 

Berarti dia tidak bisa melihat halaman rumahku, pikir Angie. Rumah di mana bisa melihat sudut limo dengan jelas tapi terhalang melihat pintu rumahku hanya ada tiga. 

Angie mendatangi satu per satu rumah yang berada dalam daftar kecurigaannya, memberi mereka kue, sambil bercerita sedikit-sedikit.

Di rumah pertama ia bercerita tentang keinginannya pergi ke Buldan Utara lagi. Di rumah kedua, ia menyelipkan hasrat untuk makan cokelat putih yang sedang populer. Di rumah ketiga, ia memuji tanaman mawar di halaman dan berkata bahwa itu bunga favoritnya. 

Entah kenapa, Toska kelihatannya senang berpura-pura menyukainya. Lelaki itu selalu melontarkan kalimat-kalimat rayuan seakan mereka sedang berada dalam sandiwara cinta murahan, mengobral pujian begitu sering bahkan tanpa sebab, serta menghujaninya dengan banyak hadiah. Alih-alih meyakinkannya, Toska justru membuat Angie semakin sangsi. Terutama karena ekspresi wajah Toska tidak banyak berubah dan lelaki itu hampir selalu segera beralih topik seakan ingin cepat-cepat menyelesaikan dialog yang dihapalnya semalaman. 

Angie yakin jika di antara tiga rumah yang ia kunjungi pagi ini memang ada peminjam Toska, orang itu pasti akan menyampaikan setiap detail ucapannya sampai ke titik koma. Toska yang gemar memainkan sandiwara cinta pasti akan muncul membawa salah satu tanda. Dengan begitu Angie berharap akan bisa menentukan tetangganya yang mana yang harus ia waspadai. 

***

Cages: The Mafia's BrideWhere stories live. Discover now