Ch. 19: The Walls Have Eyes

255 23 1
                                    

"Kejam bagaimana?" Angie mengerutkan kening. Setelah membaca hasil autopsi barusan, bagi Angie tak ada yang lebih kejam selain pembunuh Karkun.

Andi tidak segera menjawab. Ekspresi wajahnya semakin suram. "Manusia adalah makhluk sosial," katanya, "jika dicabut dari masyarakat, apa yang bisa kita lakukan? Itulah yang dilakukan Lilac."

"Maksudmu, dia mengucilkan kasidnya?" Angie ingin tertawa. Itu kedengaran sepele sekali.

"Ya, tertawa saja. Itu kedengaran lucu. Sampai kau mengalaminya sendiri. Bahkan hukuman semacam ini juga dilakukan dalam skala dunia oleh negara-negara. Menurutmu embargo itu sanksi macam apa? Bukankah juga pengucilan?"

Dalam hati, Angie berjanji untuk mencari tahu apa itu embargo saat pulang nanti. Sekarang ia hanya diam, pura-pura mengerti.

"Hati-hatilah pada Lilac Effendi, hanya itu yang ingin kusampaikan." Andi mengangkat bahu. "Yah, kau akan jadi istri Toska, jadi seharusnya tak ada masalah. Dia dekat dengan Nona Lilac."

"Mengenai Karkun," Angie berkata, mengembalikan topik mereka pada apa yang ingin ia cari tahu. "Apa kau tahu di mana TKP aslinya? Di mana dia tiada sebelum dibuang ke sungai Gurur?"

"Tidak. Informasi itu tak ada. Kau ingin aku mencari tahu hal itu? Sayangnya, bahkan para penyidik juga tidak tahu banyak. Tak ada petunjuk."

Satu-satunya petunjuk adalah Pim. Namun pria itu bersembunyi dan sekarang telah tewas. Yang tertinggal hanya racauannya.

Angie menyampaikan apa yang ia dengar dari Ella. "Mungkin kau bisa mulai mencari dari situ. Hutan, pondok, aku tak tahu apakah berhubungan. Kau tahu hutan mana yang mungkin menguntungkan Ash? Karena Pim berkeliaran di sana mencari sesuatu untuk menyenangkan Ash."

"Para kasid biasanya punya inisiatif mencari-cari informasi baru. Semakin ia kelihatan berguna, ia akan sering diutus dan diberi tugas oleh Effendi yang dilayaninya. Belum tentu hutan di mana dia berkeliaran punya keuntungan tertentu untuk Ash. Bisa saja dia hanya jalan-jalan secara acak."

"Tak mungkin seacak itu, kan?" Angie menyanggah. "Pasti ada sesuatu untuk diikuti. Aku curiga dia melihat sesuatu, kemudian mengikuti jejak itu sampai hutan, lalu di sana dia-"

"Melihat Karkun dibunuh oleh Toska Effendi," sahut Andi.

"Itu yang perlu kupastikan kebenarannya."

"Lho, kau masih ingin mencari tahu hal itu? Bukankah sudah jelas siapa yang ingin membunuhnya? Kenapa lagi Toska membungkam Pim?"

"Toska tidak melakukan apa-apa," Angie membantah. "Aku di sana bersamanya. Dia tidak beranjak dariku terlalu jauh."

Andi tergelak. "Nona Angelica," katanya, mendadak menyebut Angie dengan sopan, "kau rupanya naif sekali. Seorang Effendi tidak perlu turun tangan langsung. Dia cukup memberi perintah dan kasidnya yang akan bergerak."

Angie masih hendak membantah. Ia mendengar sendiri bahwa Toska ingin supaya Pim dibawa ke hadapannya. Lelaki itu tidak ingin Pim mati. Namun di sisi lain, keraguan menahan Angie. Bukankah Toska berpikir kematian Pim bagus baginya? Bukankah Toska tahu ia sedang menguping? Kalimat Toska waktu itu tidak bisa dipercaya.

"Motifnya tidak ada," Angie akhirnya menemukan satu alasan. "Tidak masuk akal bagi Toska membunuh Karkun."

"Bukankah dia pacarmu? Karkun berulang kali tetap menemuimu bahkan meski Marissa Effendi sudah datang melamar. Itu penghinaan. Tentu saja Toska tak ingin kau dibawa kabur sehingga mencoreng namanya."

"Aku tidak mungkin kabur," Angie menyergah keras kepala. Karkun memang mengajaknya kawin lari, dan ia sempat tergoda. Namun ajakan tersebut ditolaknya. Ia cukup realistis. Kawin lari tak akan memberinya kebahagiaan, hanya memindahnya dalam sangkar lain yang lebih besar.

Cages: The Mafia's BrideWhere stories live. Discover now