ONE DAY WITH LOVE

363 27 0
                                    

Mesin kopi yang seperti pagi-pagi biasanya adalah benda pertama yang selalu itsa sentuh pertama kali.

Pukul tujuh pagi, itsa hari ini ada kegiatan rutin bersama kalya dan dewangga. Gadis yang sudah rapi dengan pakaian kasualnya itu kemudian menyesap iced latte buatannya tadi.

Taste like life....

Itsa dulunya tidak terlalu suka apapun yang berbau kopi, namun awal-awal sejak kepindahannya kemari itsa yang kesulitan tidur di tempat baru selalu kesal dan akhirnya memutuskan membuat kopi tiap hari supaya tidak usah tidur sekalian.

Itsa sadar itu bad habit yang harus segera dirubah, tapi apa-apa yang terlalu sering di lakukan selalu berakhir jadi kebiasaan. Dan semua juga tau, kebiasaan sulit untuk diubah.

Bel apartment nya berbunyi, dewangga mungkin sudah sampai setelah tadi mengabari akan menjemputnya. Itsa mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu

"Kalya mana"? Kata pertama setelah pintu berhasil ia buka, namun bukan dewangga yang kini menatapnya.

Pria dengan kemeja dan celana bahan seperti bersiap ke kantor itu adalah sagara yang semalam membuatnya tidak bisa tidur.

"Kamu mau kemana"? Gara memerhatikan penampilan itsa, gadis itu memakai jeans berwarna navy dan baju rajut berwarna abu-abu.

"Saya____

"Kara, stop! Jangan bicara terlalu formal" itsa menatap gara dengan heran. Dia yang setiap saatnya selalu berbicara formal memintanya berhenti berbicara formal?

"Kenapa"? Itsa ingin tidak peduli, tapi entah kenapa pertanyaan itu justru keluar.

"Karena saya pacar kamu, bukan guru kamu" itsa membeku beberapa detik, menutup pintunya yang masih terbuka lalu berjalan melewati gara

Gara sendiri hampir frustasi, ia kira kemarin semuanya sudah kembali normal. Tapi sikap itsa pagi ini membuatnya ragu.

"Saya tadi nanya kamu mau kemana" ucap gara lagi setelah mereka berdua memasuki lift.

"Kamu sendiri ngapain pagi-pagi udah disini"? Seperti tidak ada kerjaan lain saja, seperti gara tidak punya tanggung jawab di jakarta. Seperti yang telah karenina jabarkan waktu itu, Sagara sudah siap memimpin perusahaannya sendiri.

Itsa selalu penasaran, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang telah di sediakan. Itsa yang hidup sendiri berjuang sendiri dan serba sendiri. andai di suruh memilih akan lebih enak menerima apa yang telah di sediakan. Gara tidak usah repot dan susah payah membangun usahanya sana-sini karena keluarganya sudah menyediakan, gara tidak akan tau rasanya bolak-balik cari pekerjaan karena tidak kerja saja dia kaya. Hidupnya terkesan terlalu mudah dan itsa pernah iri.

"Pertanyaan itu di jawab sayang, bukan malah balik nanya" itsa meremang, sudah lama sekali rasanya gara tidak menyebutnya begitu.

Itsa tidak pernah setidak sabar sekarang dalam menunggu sebuah lift terbuka dan ia bisa segera pergi. karena ternyata berada di dekat gara setelah kemarin agaknya membuat perasaan asing yang sudah berusaha itsa tepis itu kembali.

Melihat itsa hendak berjalan mengabaikannya lagi, gara dengan sigap mengambil tangan itsa untuk ia genggam yang mau tidak mau membuat langkahnya turut terhenti.

"Pertanyaan saya bukan pertanyaan sulit kan kara"?

Itsa menghela nafas, apa benar kata kalya? Apa kali ini dia yang harus memahami gara?

"Aku mau ke panti asuhan, ada urusan disana" gara mengernyit, bukan karena jawaban itsa tapi karena pria yang sudah ia anggap musuh itu sedang berjalan menuju dirinya dan itsa. Seolah melihat penculik anak-anak gara dengan satu kali tarikan menarik itsa dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya yang tegap. Abaikan itsa yang protes

"Ngapain kesini"? Dewangga memandang gara dengan tatapan bingung, matanya turun ke bawah melihat tangan gara yang menggenggam tangan itsa begitu erat.

"Udah siap sa"? Gara tidak suka diabaikan, dia adalah pihak yang selalu mengabaikan. Ternyata menyebalkan rasanya meski yang mengabaikannya adalah orang tidak penting baginya.

"Udah mas, kalya mana"? Itsa kembali maju, ia tau gara sedang menatapnya meminta penjelasan yang jujur saja malas itsa lakukan.

"Ada di mobil, yuk" dewangga kemudian berjalan lebih dulu. Dari awal, yang dirinya tau tentang itsa hanya seputar ia adalah sahabat kalya. Dia yatim piatu dan sempat bekerja padanya. Hanya itu, selebihnya dewa bukan tidak peduli tapi ia merasa tidak perlu tau soal lainnya. Termasuk siapa gerangan pria tadi. Yang masihlah membuatnya kesal karena merampas mobil impiannya.

Itsa sendiri masih berusaha melepas tangannya dari gara yang entah kenapa memang sekuat itu.

"Lepasin aku harus pergi"! Gara belum bilang kan betapa itsa telah terlihat dewasa sekarang? Dari cara gadis itu berpakaian sudah cukup membuktikan bagaimana itsa bukan lagi gadis remaja polos yang ia cintai. Ia sudah beranjak menjadi wanita yang semakin membuatnya tertarik dan gara akan mengaku betapa ia menggilai gadis ini.

"Saya mau ikut" putus gara telak, menarik itsa untuk berjalan kemudian namun berhenti kembali

"Kamu gak diajak, lagian kamu gak ada kesibukan lain apa"?

"Untuk sekarang gak, saya lagi fokus bagaimana caranya kamu kembali seperti kara yang dulu"

____________

Itsa tentu menolak saat gara meminta ikut, tapi atas persetujuan kalya dan dewangga yang sebenarnya dewangga tidak ia anggap penting. Disini lah gara sekarang, memandang tanpa putus dan terus tersenyum pada itsa yang sedang mengajari beberapa anak mewarnai dengan buku gambar yang sebelumnya sudah di bawakan oleh kalya.

"Kalian sering kesini"? Tanya gara pada kalya yang sedang duduk di sampingnya sehabis membagikan buku mewarnai tadi. Dewangga sedang di lapangan bermain bola bersama anak laki-laki dan gara tidak peduli.

"Rutin pak, dulu sih cuma diajakin sama mama saya tapi lama-lama keterusan" penjelasan kalya gara tanggapi dengan anggukan. Ia kembali memandang pada itsa yang kini terdiam menatap anak-anak di depannya dengan tatapannya yang terlihat meredup.

Gara memilih mendekat, mengusap kepala itsa pelan hingga gadis itu menyadari kehadirannya.

"Kenapa"? Suara gara yang lembut itu kenapa selalu mampu membuat itsa berdesir?

"Mereka kayak aku, tapi setidaknya aku pernah ngerasain punya ibu walaupun aku lupa rasanya" dan gara terdiam, ada rasa sakit yang tidak bisa ia jelaskan. Andai tidak ada anak-anak di depan mereka gara ingin memeluk itsa dan mengatakan bahwa itu tidak apa-apa, ia tidak sendiri karena gara akan selalu ada apapun statusnya dan bagaimana pun kondisinya.

______

Setelah dari panti asuhan, mereka kembali memutuskan makan siang setelahnya. Dewangga sudah tidak bersama mereka karena harus kembali bekerja. Sekarang dalam mobil gara ada kalya di bangku belakang sedang sibuk dengan ponselnya dan itsa yang sedang memandang jalanan di depannya.

Gara mengambil tangan itsa untuk ia genggam, membuatnya menyetir dengan satu tangan mempertahankan genggaman itu meski itsa menolak.

"Saya perlu penjelasan soal dewangga" katanya dan itsa menoleh dengan bingung.

"Mas angga sepupu saya pak, kan tadi udah saya jelasin" iya, di panti tadi gara memang memilih bertanya pada kalya terlebih dahulu. Informasi dari kalya cukup membuatnya yakin kalau memang diantara mereka tidak ada hubungan tapi tetap saja gara ingin itsa sendiri juga mengakui itu.

"Jelasin apa"? Itsa melirik pada spion tengah dimana menampilkan kalya yang menunjuk gara dengan isyarat matanya.

"Kamu gak mungkin menjalin hubungan dengan orang lain waktu hubungan kita lagi gak jelas kan"? Itsa memutar bola matanya malas, tunggu saja sampai karenina tau dan kembali datang padanya dengan peringatan.

"Emang sekarang udah jelas"? Pertanyaan itsa yang tentu tidak sulit untuk gara jawab.

"Bentar lagi kamu jadi nyonya sagara janardana"

Kalya berseru heboh di belakangnya, berbanding terbalik dengan itsa yang menatap gara dengan tawanya yang terdengar sinis di telinga gara

"Keluarga kamu gak akan pernah____

"Saya gak akan minta maaf soal apa yang mama saya bilang ke kamu ghaitsa.karena itu bukan kesalahan saya, dengan atau tanpa persetujuan mereka pun tetap kamu yang saya pilih"

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang