4. Di Rumah Sakit

67 23 3
                                    

Aku menatap Zaki lagi. Pria itu sedang terlelap damai. Helaan napasnya terdengar cukup teratur. Wajahnya sudah tidak sepucat sebelumnya. Mungkin pengaruh obat dan infus yang diberikan dokter.

"Tapi kalo gak segera diganti bajunya, Zaki bisa parah sakitnya. Aku makin berabeh ngurusnya," keluhku bingung.

"Ah kenapa tadi gak ngomong waktu dokter nganggep dia suamiku?" sesalku sambil berdecak.

Sedikit ragu aku mendekati ranjang pria itu dan duduk di tepinya. Tangan perlahan terulur untuk membuka kancing kemejanya. Namun, baru juga membuka satu kancing aku buru-buru berhenti.

"Apa reaksi Zaki kalo tau aku yang gantiin bajunya? Ah pasti dia akan ngeledek aku habis-habisan," batinku menebak.

"Bisa kepedean dia. Dikira aku masih suka dia. Enggaklah!" tegasku pada diri sendiri.

Aku segera bangkit dan menjauhi ranjang Zaki. Pikiran ini masih berkelana mencari ide bagaimana cara mengganti pakaian pria itu.

"Di sini kan ada perawat laki-laki, aku minta saja mereka buat gantiin baju Zaki." Seketika senyumku mereka lebar.

"Ya ampun! Kok dari tadi gak kepikiran ya?"

Aku menggeleng sambil tersenyum saat menyadari kebodohan ini. Kaki ini menderap menuju pintu. Begitu ke luar dari kamar mata ini menyapu sekeliling. Tidak pakai lama tampak seorang perawat pria yang melintas. Tentu langsung kupanggil pemuda itu.

"Ya Mbak, ada yang bisa dibantu?" tanya perawat itu ramah.

Bibirku mengulum senyum. Dalam hati aku merasa bahagia karena dipanggil Mbak. Bukannya mau pamer meski sudah punya Zayan, banyak yang mengira aku masih gadis. Itu dikarenakan bentuk tubuh aku yang masih terjaga.

"Eum anu, Mas, tolong gantikan baju teman saya," pintaku kemudian.

"Maksudnya?" Perawat bertubuh sedang itu tampak belum paham.

"Sini dulu!" Aku mengajak perawat dengan name tag Ari itu memasuki kamar.

"Dia teman saya, tapi Mbak suster salah terka. Dikira suami saya," tuturku sambil menunjuk Zaki yang masih terbaring di ranjang, "jadinya suster itu nyuruh saya yang buat ngegantiin baju dia."

"Oh." Perawat Ari itu langsung mengangguk paham.

"Tolong ya, Mas," pintaku lagi.

"Iya, Mbak."

"Terima kasih."

Usai berkata demikian aku bergegas keluar lagi. Duduk di bangku tunggu sampai akhirnya perawat Ari keluar.

"Terima kasih banyak ya, Mas," ucapku pada pemuda itu.

"Sama-sama, Mbak." Perawat Ari pun berlalu.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Kulirik jam tangan. Sekarang pukul empat sore. Elina sudah pulang nih.

Tanpa berpikir panjang aku langsung menghubungi nomor gadis itu. Ah baru ingat, Elina kan memblokir nomor aku.

"Aduuh ... Malas banget kalo harus nungguin Zaki di sini. Anak-anak bisa keteter di toko," keluhku gusar.

Apalagi sudah hampir dua jam aku meninggalkan toko. Meski bukan grosiran besar, tapi kedai milikku selalu ramai. Dan hari ini akan datang distributor dari pabrik.

KETIKA MANTAN MENJADI MANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang