22. Terluka

10.3K 1.1K 58
                                    

Cessa benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Awalnya Violet masih banyak bicara dengan sesekali Cessa menimpali, rasa lapar Cessa hilang begitu saja, dalam waktu lumayan lama.

Namun, saat di mana Cessa terpejam mengantuk, hampir menjatuhkan kepalanya di lengan Violet, tahu-tahu pintu kamar di dobrak kasar.

Dua orang memimpin memasuki ruangan, bagi Cessa mukanya tidak asing lagi, lalu disusul segerombolan pria berperawakan kekar dan tinggi, hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan pergi.

"Vio, anak pungut kalian ini kayaknya kelaparan." Rean mencengkeram dagu Cessa sambil menoleh ke samping, berjarak sekitar empat langkah, Violet terus-terusan berteriak memaki. "Suara perutnya berisik." Mata itu mengerjap licik.

Gigi bergemeletuk, gadis bersurai pendek itu membentak judes.

"Singkirin tangan sampah lo darinya, sialan! Gue bersumpah, bunuh kalian semua kalau Cessa kenapa-napa!" Violet mengambil kesempatan Ditya yang berjongkok di hadapannya, tanpa basa-basi menendang kencang selangkangan laki-laki itu.

Ditya menjerit sementara Violet langsung bergeser cepat mendekati Cessa.

"Lo nggak bisa ambil bocah ini, anjing gila!" Rean bersiul sekali sembari beralih meremas puncak kepala Cessa, memaksa mundur.

Cessa terperangah dengan bola mata berair.

"Dia lapar, jadi lebih baik lo duduk kalem atau pilih orang-orang itu gebuk lo berjamaah," lanjutnya mengancam.

Violet mengikuti arah tatapan Rean, di pojok kamar, Violet kenali mereka adalah pembunuh bayaran kota Sevilla, beberapa pernah bertemu dirinya karena dulu sempat berseliweran menyamar di ibukota.

Berkat keahlian Eros yang sukarela mengajari di masa lalu, Violet jadi tahu cara membedakan kemampuan mereka dalam cara bertarung.

"Jangan coba-coba mikir siasat di otak lo ini." Ditya yang telah berdiri tepat di belakang Violet, menjambak segenggam rambut Violet kemudian.

"Kita sekarang jadi penonton. Lihat baik-baik yang Rean lakuin ke bocah itu," ujarnya berbisik dingin.








***










Akan terlihat bodoh kalau dia percaya begitu saja pada si cowok dengan rambut keriting bernama Rean, tiba-tiba menyodorkan satu mangkuk penuh potongan paha ayam kecap.

Tanpa berkaca pun Cessa tahu kondisinya pasti menyedihkan dan pelakunya detik ini sedang senyam-senyum gila.

"Aku lebih suka senyuman sinting Chester." Untuk pertama kalinya Cessa memanggil nama Chester tanpa embel-embel Papa. Kesal, dia memasukkan dua jari ke lubang hidung Rean. "Mirip babiii!"

Raut wajah Rean berubah keruh, di tempatnya Violet tertawa. Cessa tidak keberatan saat pergelangannya di tepis kasar kemudian.

"Anak sialan." Mendesis geram, Rean mencengkeram pergelangan kaki sang balita. Pandangan Rean kembali mengarah pada Violet dengan binaran main-main. "Vio, gimana kalau kami setelah ini jadi pedofilia!" ujarnya setengah berteriak, sengaja menekan kata terakhir.

Cessa menegang sementara Violet mulutnya seketika membungkam rapat.

"Gue belum pernah cicip anak di bawah umur apalagi semanis Alula," sahut Ditya sambil mengerling aneh.

"Gimana, ya, rasanya?" Telunjuk Ditya menjentik sekilas dagu Violet, lama-kelamaan terbahak keras menyaksikan kekasih Eros tersebut mulai pucat.





***









Malam itu, Agas berdiri termenung di jembatan kayu pelabuhan. Sepuluh jemarinya terbungkus sarung tangan mencapai lengan. Tubuh atas mengenakan kaos pendek krem dengan bawahan celana jeans hitam.

"Lo lihat kapal itu, di sana ada Vio sama cebong." Tiba di sebelah Agas, Eros berujar serak.

Dari tempat keduanya sekarang, kapal itu sama sekali tidak bergerak di tengah-tengah laut, terlihat kecil, layarnya hanya beberapa terbentang.

"Katanya bakal ada badai," beritahu Agas terkesan acuh tak acuh.

Cowok remaja bermata biru itu mendelik tajam, meringis pelan seraya memegangi perut yang agak perih dia menjawab ketus.

"Gue tetap ikut. Kehadiran gue lebih berguna daripada lo." Eros menatap jengkel Agas.

Alih-alih tersinggung Agas justru tersenyum samar.

"Dalam adu jotos gue emang kalah telak apalagi sampai mengarah ke pegang senjata. Kegunaan gue di klub akuma selain nama belakang Grisgam, gue juga ahli di keamanan siber," jelasnya datar.

Eros tersedak. Diam-diam membayangkan ekspresi takjub Cessa jika ada di antara mereka, jarang-jarang Agas banyak omong, lalu Violet mendadak jadi wartawan, mengambil keuntungan mengobrol dengan Agas selalu berujung dirinya cemburu setengah mati.

"Lagipula gue punya Izal, keadaan kakinya ke potong atau dia udah sekarat pun bakal tetap lindungin gue." Cara bicara Agas terkesan biasa saja membuat Eros linglung.

"Gue pernah ngira kalian homo!" Eros tergelak hambar.

Agas berdecak. Memutuskan berbalik menyadari kedatangan Chester bersama Kaizar.

"Pedang gue harus kotor lagi." Chester menghela napas berat seolah-olah menyayangkan segalanya terjadi, namun mereka yang teramat mengenali Chester memahami maksud perkataaannya.

Menjilat bibir bawah, secara perlahan Chester melepaskan sarung menutupi pedang tersebut.

"Sebenarnya ini milik Kaizar," ungkap Chester.

Hanya Eros satu-satunya melotot terkejut mendengar itu, berbeda dengan Agas atensinya tertuju pada gagang pedang membentuk ukiran kecil hiasan bunga lotus.








***







Mengumpulkan salivanya di mulut, dua detik kemudian Violet meludahi tepat wajah Rean alhasil untuk kedua kalinya tamparan kencang menghantam pipi gadis bertubuh jangkung itu.

Muka Violet tertoleh ke samping sekedar beberapa detik karena tangan kanan Rean berpindah mencengkeram rahangnya.

"Udah bagus gue batal cicipin anak pungut kalian!" Rean berbisik kejam, memandangi pihak lain penuh kebencian.

"Bisa-bisanya lo temenan baik sama penerus klan elit, sementara gue derajatnya sama kaya mereka, sikap orang-orang itu malah enggak peduli tiap gue mencoba temenan." Perhatian Rean lalu mengikuti arah mata Violet yang melirik ke lantai kapal.

Violet menahan diri tidak meludahi wajah Rean kembali, meski begitu, sebagai gantinya Violet membalas dengan nada memprovokasi.

"Iri, kan, lo? Iri aja sana sampai mampus." Seharusnya Violet sudah jera dan berhenti memancing emosi Rean, namun Violet terlalu keras kepala.

Sementara Cessa terbaring lemas di lantai hampir berpikir konyol kalau Violet seorang masokis. Mata Cessa berkabut oleh air mata, mendapati kening Violet di benturkan ke jendela, saking kerasnya jendela itu berakhir hancur berkeping-keping.

"Hei, lihat gue, Alula!" Ditya bergeser merapat, menjawil gemas pipi kiri sang balita.

"Papah ningrat lo udah dateng ternyata, dari sini suara rusuhnya kedengeran." Tepat bibir Ditya berucap, benda runcing di balik punggung Ditya sebelumnya tersembunyi, menusuk perut Cessa.








****









Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora