BEHIND THE DOOR NUMBER 22 [2]

25 4 3
                                    

Ben duduk di halte sembari mendengarkan musik, ia masih memikirkan kejadian tadi siang apa dia berhalusinasi atau dia kena tumor otak semacamnya.

"Terry William..." ia bergumam sebelum akhirnya bus datang untuk mengantarnya.

Sepanjang jalan ia hanya menatap suasana luar London yang mulai berkelip-kelip dengan lampu malam yang elok, Ben sampai di sebuah cofee shop, ia menuju ruang staff dan segera mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dilengkapi topi dan apron. Ben bekerja sebagai barista untuk mendapatkan uang jajan.

Ia memulai pekerjaanya pukul delapan malam, dengan ulet Ben melayani beberapa pelanggan dan membuat latte art yang cantik. Ben adalah salah satu barista favorit di coffee shop ini, ia terkenal karena wajah tampan khas korea dan keramahannya pada pelanggan.

Pukul setengah satu malam toko akhirnya tutup, Ben membersihkan meja dan teman-temannya yang lain mengepel serta menghitung pemasukan hari ini.

"Kurang, uangnya kurang di shift sore."

Suara itu membuat barista lain termasuk Ben menghentikan kegiatannya dan datang ke meja kasir, seorang barista bernama Juels terlihat panik ketika uang yang mereka dapat shift sore kurang. Tak lama manajer akhirnya datang karena mendengar keributan Juels

"Kenapa?"

"Uangnya kurang, Pak."

"Loh, bagaimana bisa kan sudah tercatat, kita juga pakai cash."

Manajer itu berkacak pinggang, ia memijat pangkal hidungnya beginilah masalah mereka seminggu terakhir saat shift sore menjelang malam uangnya selalu kurang.

"Siapa yang terakhir ada di kasir."

Semua orang menatap ke arah Ben, "Saya, Pak."

"Apa kami gak lihat siapapun ambil uang? Dari mereka semua?"

Ben bergeleng, tentu saja tidak ia juga memperhatikan pelanggan yang keluar masuk karena dari sore ia berada di meja depan melayani orang-orang, jika ada yang mengambilnya Ben pasti melihatnya

"Apa bukan kamu yang ambil, Ben?"

Ben mengernyitkan dahinya "Aku? untuk apa? Besok saja kita gajian."

"Siapa tau karena gajimu kurang, kamu saja pinjam uang dari kami terus sejak kemarin," sela Josh

Para Barista lain nampaknya setuju dengan kalimat Josh, Ben menatap tak percaya pada pemuda itu, ia memang meminjam uang tapi sudah ia lunasi semuanya

"Aku sudah lunasi uang kalian semua seminggu lalu ingat? Mana mungkin aku—"

"Ben." Manajer memotong kalimat Ben lalu menatap Ben dengan penghakiman

"Pak kita sudah kenal lama."

"Guys, seriously, kalian jangan fitnah gini dong."

Keheningan mereka membuat Ben terpojok, kenapa nasibnya di kelilingi orang-orang sialan yang tak pernah percaya padanya.

"Fine!" Ben melepaskam apron dan topinya lalu melempar benda itu ke lantai, "Jangan telfon aku lagi kalau kalian tau faktanya nanti."

Ben mengambil barang-barangnya dari ruang karyawan lalu pergi meninggalkan coffee shop dari pintu belakang, lalu memberikan acungan jari tengah ke arah coffee shop itu.

Ben menyusuri trotoar sepi di malam hari, ia kemudian berhenti di depan sebuah air mancur indah tempat orang-orang biasanya melemparkan koin untuk memanjatkan harapan.

Ben termenung menatap air mancur tersebut, ia merogoh sakunya kemudian menemukan satu keping koin. Ia tertawa kecil melihat benda itu lantas melemparkannya ke air mancur, koin itu tenggelam perlahan ke dasar bersamaan dengan harapan Ben yang terucap dalam hati.

The Chapter Upon Me [TXT ONESHOOT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant