Chapter 2

56 9 0
                                    

Junghwan melambaikan tangan pada Junkyu. Sedangkan Haruto yang masih mengantuk nyaman bergelendot pada lengan Junkyu. Memeluk pinggang erat dan sesekali menciumi pucuk kepala Junkyu.

Memang, keduanya sudah sah. Jadi apa yang kalian harapkan?

Junghwan berdecih. Pura-pura sebal sebelum tawa Junkyu mengudara. Keduanya memasuki mobil. Haruto menurunkan kaca dan membuat isyarat telfon pada Junghwan. Ia hanya berdeham sebagai respon.

Mobil berwarna hitam keluaran lama itu mulai meninggalkan halaman rumah. Diiringi suara lucu Junkyu mengucapkan sampai jumpa.

Junkyu berniat untuk menginap dirumah. Namun, Haruto harus pergi dinas ke kota besar sekalian berkunjung ke rumah Keluarga Watanabe, jadi Haruto harus membawa Junkyu juga.

Sepeninggal Haruto dan Junkyu, Junghwan memasuki rumahnya dengan perasaan sepi yang menyerang. Melihat sofa rumah yang sudah ditutupi plastik. Melihat televisi yang akan ia jual. Dan juga seluruh isi rumah ini. Suasananya. Aromanya. Semuanya.

Junghwan melangkah menuju meja makan. Dua mangkuk lain sudah dicuci bersih. Hanya tersisa mangkuk miliknya saja. Masih tersisa sedikit.

Tiba-tiba, rasa sesak yang selama ini ia pendam kembali muncul.

Mangkuk yang sedang ia pakai, bukan sekedar mangkuk biasa. Ada kenangan mahal yang ia simpan bersama kehadiran seseorang di dunia ini.

Sisa sup itu. Teringat jelas dibenaknya.

Junghwan duduk.

Menyandarkan tubuh pada kursi. Menahan tangis.









"Junghwan."

Haruto, mendekatinya. Memasang wajah yang tidak bisa ditebak. Junghwan berpikir Haruto sedang mengerjainya.

"Kalau ingin iseng, jangan sekarang. Aku sibuk mengerjakan tugas."

Belum lagi Junghwan kembali pada rangkumannya, Haruto meletakkan ponselnya diatas buku.

Menampilkan foto seseorang yang sangat Junghwan kenal.

Foto itu.. tampan.

Hanya saja, tulisan turut berduka diatas font fotonya mengganggu.

Junghwan mendecih lirih.

"Jangan iseng dengan kematian. Apalagi dengan foto diedit seperti-"

"Junghwan. Dengar aku. Ini bukan editan."

Junghwan menyingkirkan tangan Haruto di pundaknya secara kasar. Meraih kedua bahunya keras dan menatap Haruto dengan mata menggenang.

"Haruto! Jangan bercanda dengan kematian! Aku tahu kau suka sekali jahil, tapi ini keterlaluan!"

"JUNGHWAN! D-dengar a-aku sekali saja. Ini benar. Ia sudah pergi."

Junghwan menelan ludah dengan tatapan tajam menghujani Haruto yang menunduk dan terisak.

Haruto menangis? Terisak?

Junghwan meraih ponsel Haruto dan menyalakan lockscreennya. Ia membuka sandi kunci yang ia hafal dan meneliti foto yang terunggah di ponsel. Foto itu diunggah juga pada timeline sosial media Haruto. Junghwan membuka kolom komentar dengan perasaan tidak karuan.

Semuanya.

Mengucapkan turut berduka.

Tangan Junghwan langsung bergetar hebat. Ponsel Haruto jatuh entah kemana. Nafasnya sesak dan air matanya seketika jatuh.

Tubuhnya lemas sampai dimana tangan yang menopang pada meja seolah siap ambruk bersama tubuhnya.

Haruto segera memeluk Junghwan. Menenggelamkan wajah di bahu. Mengelus punggungnya tanpa henti.


Seberapa keras Junghwan menahannya, benteng yang ia bangun segenap jiwa itu runtuh. Lalu waktu, ia terus menahannya. Namun, untuk kali ini Junghwan mengijinkannya lagi untuk tumpah.

Menutupi kedua wajah, meredam isak, dan berusaha untuk tenang.

Ia benar-benar berusaha selama itu menenangkan diri sendiri.

Berita itu adalah trauma besar hingga rasanya Junghwan tidak akan pernah melupakannya. Selalu terputar hingga hidup pun menjadi segan.

Lukanya teramat dalam. Rasanya membekas di sepanjang hidup.

Junghwan dan rumah ini, adalah saksi besar betapa banyak "tentangnya" membekas disini. Junghwan yang selalu bercerita dengan malam. Junghwan yang selalu semangat untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Junghwan yang selalu hidup bahagia hanya dengan melihat tubuh itu dari belakang.

Semuanya.

Semuanya tumpah ruah disini. Mengerak menjadi sebagian dunianya, menetap dan terukir dalam lembah yang dalam, hingga..

Isaknya tertahan. Ia harus menggertakan gigi agar suaranya tak keluar. Namun, gagal.

Akhirnya, suara teriak tertahan dari bibir Junghwan menggema. Memantul di setiap sudut rumah. Mengisi semua kekosongan.



"Aku tidak akan pernah hadir,"

"Karena aku belum mempercayai sepenuhnya,"

"Haruto, bagaimana hidupku kedepannya?"

"Junghwan, aku yak-"

"Maksudku, dia sudah mengisi duniaku. Sudah mengisi segala masa muda hingga masa dewasaku. Dia salah satu orang yang akan kulindungi di sepanjang hidup. Aku akan selalu menjadi benteng untuknya. Aku tahu.. kepergiannya memang karena Tuhan yang rindu. T-tapi, bagaimana d-dengan duniaku kedepannya? Akankah sama bila tanpa dia?"

"Ju.."

"Kalau aku datang, itu tandanya aku harus ikhlas."

"Junghwan, dengar-"

"Aku selalu mendengarmu. Kali ini, biarkan aku mendengar kata hatiku sendiri. Aku takkan pernah datang. Jika aku datang, itu berarti aku sudah siap kehilangan semuanya. Iya. Semua tentang kenanganku yang lekat dengannya.

Haruto, aku tidak pernah siap untuk itu. Dia belum tahu betapa aku mencintainya."




See My Point Of View, Love. (WOOHWAN)Where stories live. Discover now