Chapter 4

69 9 0
                                    

Panggilannya dengan Haruto-Junkyu baru saja ia akhiri. Junghwan menyeka sisa air mata di pipi dan mengganti tissue pada hidung kirinya dengan yang baru.

Matanya sembab. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Junghwan sedikit tersenyum.

"Ini lebih lama dari perkiraanku. Biasanya aku akan tenang dalam beberapa jam lalu tertidur. Sekarang mengantuk pun tidak. So Junghwan, kau kuat sekali."

Kedua tangannya mengambil sumpalan tissue di hidung dan membuangnya pada tong sampah disamping.

Setengah jam lalu, ia berdiri disini. Mengusap wajahnya dengan air. Membersihkan sisa ingus dan memakai makser mata setelah dirasa tenang. Sekarang, ia sudah membaik. Hanya berbeda pada kelopak mata yang bengkak dan juga hidung yang memerah.

Ia menyugar rambut hitam panjangnya. Memeriksa kumis tipis atau rambut janggut yang akan tumbuh. Setelah dirasa bersih, Junghwan menatap dirinya lamat di cermin.

Matanya berembun. Namun, ia tahan kembali.

"Seperti yang kau inginkan. Pergilah ke Kanada. Mulailah hidup dengan baik disana. Belajar dengan tekun dan bekerja dengan tekun agar bisa kaya raya."

Junghwan menarik nafas dan mengulum bibirnya sebentar sebelum melanjutkan.

"Tidak ada yang salah dengan rumah ini. Tapi, terlalu banyak tentang dia yang tersimpan disini."

Junghwan menutup kedua matanya. Meletakkan kedua tangan di depan dada.

"Beberapa waktu setelah aku memutuskan untuk menjual rumah ini, Tuhan. Rasanya hidupku berat. Semua kenangan yang sengaja aku pendam dan kusimpan sendiri mulai muncul satu-persatu. Mimpiku yang selalu gelap. Rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Dan pikiranku tentang..."

Junghwan memilih untuk menahan rasa yang entah mengapa siap lagi untuk meledak, saat nama itu akan terpanggil dari bibirnya.

"Tuhan, aku belum pernah menyerah untuk ikhlaskan kepergiannya. Aku pernah membuat janji, suatu saat nanti aku akan menunjukkan rasa cintaku. Aku siap menjadi segala alasan agar ia tetap hidup. Aku selalu siap meraih masa depan bersamanya. Dan aku berhutang janji untuk menanyakan rasanya padaku."

Junghwan membuka kedua matanya. Satu lelehan air mata mengalir dari mata kirinya.

"Tuhan, Anda tahu? Aku sangat mencintainya. Tapi aku belum pernah mendengar langsung apa yang ia rasakan untukku. Segala perhatiannya selalu seperti mengarah padaku,"

"Sebenarnya, aku ingin ia tetap hidup, Tuhan."

Lalu, terdengar suara tawa Junghwan menguasai ruangan. Diiringi air mata yang kembali mengalir. Tawanya terhenti dan ia memilih bungkam sembari menatap lekat dirinya lagi pada cermin. Karena ia rasa sudah gila.

Matanya melirik pada botol obat di ujung wastafel. Junghwan membeli obat itu beberapa bulan yang lalu, mulai menarik atensinya. Lengan kirinya menghapus air mata, tangan kanannya sudah menggenggam botol tersebut. Kemudian itu memutar tutup botol itu dengan kuat, langsung menenggak hampir semua tablet sampai-sampai dua-tiga butir berhamburan.

Isi kepala Junghwan terngiang berita kematiannya. Serta tangis Haruto juga memutar beberapa komentar pada postingan itu dengan kata berduka cita. Semua itu langsung terputar dengan ramai dan memaksa Junghwan untuk menatanya. Semua terputar cepat hingga Junghwan limbung ke lantai. Terduduk dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Kedua tangannya mencoba berkali-kali memukul kepalanya sendiri, berteriak, hingga semua itu terhenti pada sebuah titik bercahaya. Sekitarnya berubah gelap, namun cahaya itu semakin menyorot meneranginya. Junghwan berusaha mendekat walaupun harus tertatih. Setiap langkahnya memberi rasa sakit luar biasa. Tubuhnya lemah seolah akan hancur sebentar lagi. Namun, ia ingin tetap mendekat. Semakin dekat, cahaya itu berasal dari tubuh seseorang. Semakin lama, langkahnya semakin lemah hingga netranya menemukan seseorang berdiri tak jauh darinya. Bersamaan tubuhnya yang jatuh berlutut, ia berusaha memanggil. Namun,  seseorang itu memilih berbalik dan meninggalkannya.

Tubuhnya ambruk dengan keras. Junghwan tak memiliki daya lagi untuk sekedar bersuara. Bibirnya kelu dan kedua matanya memburam. Hingga, terakhir yang ia lihat hanyalah punggung seseorang itu semakin menjauh..

Jauh..

Dan jauh..

Junghwan tak lagi merasakan apapun. Hanya gelap.



See My Point Of View, Love. (WOOHWAN)Where stories live. Discover now