[10] Crying Shame

7.7K 1.2K 883
                                    

"... you know that a good, long session of weeping can often make you feel better, even if your circumstances have not changed one bit."

Lemony Snicket,

***

It is important to note that the paragraph in italics is part of a past memory.

***

Spice Market Cafe at Shangri-La's Rasa Sayang Resort and Spa-Penang, Malaysia.

Have you ever been in a situation that left you both shocked and uncomfortable, to the point where you couldn't do or think about anything?

Kumala sedang merasakannya. Ia hanya duduk kaku, tidak melakukan dan memikirkan apa-apa sementara suasana di tempatnya berada sekarang cukup ramai dengan orang—mulai dari obrolan-obrolan seru sampai ke tawa keras dapat didengar Kumala, tapi wanita itu cuma bisa diam di kursinya—diam-diam berharap kalau waktu akan berputar cepat dan dia bisa kembali ke apartemennya.

Kedua tangan Kumala saling bertautan erat, menunjukkan seberapa besar kegelisahan dan ketidaknyamanan yang dirasakan wanita itu sekarang.

Sementara, Tyas, Farah, Hestamma, Jeremy dan lainnya tampak menikmati hidangan buffet yang tersedia, Kumala malah masih diam menetap di kursinya sejak ia menyusul terlambat tadi.

"La, nggak makan?" Hestamma menaruh piringnya di atas meja, lalu menarik kursi yang ada di samping Kumala. "Are you okay?" Entah apa yang dilihat Hestamma di wajah Kumala, tapi pria itu mendadak berubah khawatir setelah bertatapan dengan sepupunya itu.

Meski rasanya sulit menggerakan tubuh, Kumala memaksa kepalanya untuk bergerak mengangguk. "Makan apa?" tanya Kumala, menatap piring Hestamma yang penuh makanan tanpa minat.

"Makan dulu, La." Tidak menjawab pertanyaan Kumala, Hestamma memberikan piringnya ke arah wanita itu. "Nanti setelah makan, aku antar pulang."

Kumala menggigiti area dalam bibir bawahnya, pandangannya berubah memburam ketika melihat piring Hestamma yang sekarang sudah berpindah ke hadapannya. Perlahan, ia mengatur napas dan membuangnya perlahan, mencoba untuk menahan segala emosinya yang tiba-tiba saja ingin membludak keluar setelah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

"Mbak Kumala, kok, nggak makan?" Suara Tyas yang ceria membuat Kumala secara refleks mengulas senyumnya, membalas senyum lebar wanita yang 2 tahun lebih tua darinya itu. "Jadi malu... Ini saya malah udah ambil makanan sebanyak ini," katanya meringis, menunjuk 2 piring yang diambil Tyas.

Tangan Kumala terulur untuk membantu Tyas menarik kursi yang ada di sisi sampingnya yang lain, membiarkan asisten Katon itu duduk dengan mudah.

"Kula makan apa?" Tak lama, dari arah belakang kursi yang diduduki Kumala, Farah tampak berdiri di sana—melongok ke arah piring yang ada di hadapan Kumala. "Tumben makan banyak?" Selama ini—setahu Farah—Kumala hanya mampu makan dalam porsi yang sedikit, berbeda jauh dengan makanan yang dilihatnya sekarang di piring sahabatnya itu.

Kumala tidak menjawab, dia hanya mengulas senyum singkat sebelum Farah melemparkan pandangannya ke arah seberang meja yang diduduki Kumala—tepat ke arah Katon—yang sejak tadi juga diam di kursinya.

"Makan, Mas!" tegur Farah dengan suara yang lumayan keras.

Kepala Kumala langsung tertunduk dalam, ia memilih untuk tidak mengarahkan fokusnya ke arah Katon sama sekali, mengingat apa yang ia alami tadi sebelum ada di tempat ini.





LET THE CAT OUT OF THE BAG (COMPLETED)Where stories live. Discover now