22% Plan B

103 14 0
                                    

Suara langkah itu mulai menggema dilorong sekolah. Seolah menjadi lagu pengiring pertempuran mereka pada malam ini. Tujuh orang itu berjalan beriringan menuju ruang perpustakaan, diantaranya Tama, Ican, Anjani, Jack, Heri dan dua lainnya. Lengkap dengan senjata yang mereka simpan masing-masing.
Sementara disisi lainnya, ada Agam berusaha melepaskan tubuhnya dari Gangga dan Lintang yang tengah gelendotan dilengannya sambil terus merengek ingin masuk.

“Ayolah Mas Agam. Kita ikut masuk ya?”

Agam langsung menarik lengannya dari pelukan Lintang dengan paksa, “Gak! Lu berdua kali ini jaga aja dimobil sama Kanda! Trauma gue nyatuin kalian berdua! Biarin selain kalian yang masuk! Lebih aman! Terus satu lagi!” Agam ngacungkan jarinya pada Gangga, “Jangan pernah kalian berpikir buat nerobos kesana! Kalo masih ngeyel pengen masuk, inget lo pernah bikin adek lo hampir mati gara-gara kecerobohan lo!”

Gangga hanya membuang napas pendek dengan wajah kesal, “Tapi kita udah baikan kok Mas. Gue sama Lintang juga udah besti banget. Pasti kita bakalan kompak!”

Laki-laki itu hanya mendengus malas, “Hema, Apsel sama Bisma yang tiap hari bergaul aja kalo ditanya kapan ulang tahun mereka jawabnya juga masih semrawut! Gimana kalian! Kok ngomongin kompak! Gak usah aneh-aneh!” lalu Agam mengulurkan tangannya pada Kanda lewat kaca mobil yang sedikit terbuka, “Peluru Nda.”

Setelah menerima peluru cadangan dari Kanda dan memasukan pistol kedala saku jasnya, Agam mulai beranjak pergi meninggakan Gangga dan Lintang, tanpa mempedulikan dua orang  yang sebenarnya masih mendumal tidak jelas dibelakangnya.

Demi apapun, bukan Agam tidak percaya dengan mereka, Agam lebih takut mereka kenapa-kenapa setelah apa yang sudah terjadi. Lagipun ia juga hanya memberi kesempatan yang lain untuk menjalankan misi ini. Terutama Aji, walaupun idenya bukan lagi menyamar, tetap saja lebih baik Aji ikut ke TKP dari pada harus bersama Lintang!

Kini Agam tengah berdiri ditengah lapangan gelap itu, hanya dengan penerangan dari bulan purnama yang ada diatasnya, menghadap gedung besar didepannya dan memandangnya dengan lamat, terutama pada ruangan yang bertuliskan perpustakaan. Hingga ujung bibirnya menyungging, “Habis kali ini lo Gutama.”

Hingga seseorang turun dari tangga, dengan dua pistol yang ia selipkan disisi pingganganya. Umar turun dari lantai atas, berjalan dengan santai kearah  Agam setelah memastikan tempat yang akan Agam datangi itu aman. Sambil menghisap sebatang tembakaunya, Umar melingkarkan ibu jari dan telunjuknya, “Aman!”

Agam mengangguk menatap Umar sambil tersenyum miring. Agam tidak tahu dari mana Umar belajar gaya tengil seperti yang ia lihat sekarang. Yang seolah ia akan tetap mentertawakan musuhnya jika mulut pistol sudah menempel didahinya, atau akan bertingah super heboh sambil meminum sebotol alkohol dan tertawa keras atas kemenangannya. Kenapa laki-laki itu terlihat sangat jahat? Apakah itu karena Agam yang merawatnya? Agam tidak mau kepedean, tapi jika Agam berada disituasi seperti tadi, jelas Agam juga akan melakukan hal yang sama.

Agam membuat napas panjang, meyakinkan dirinya untuk siap menanggung resiko apapun yang akan terjadi malam ini. Hingga ia berjalan berpapasan dengan Umar yang berjalan keluar. Namun baru beberapa langkah, langkahnya berhenti saat Umar memanggil namanya.

“Mas Agam.”

Membuat Agam menoleh pada laki-laki itu. Bisa Agam lihat bahwa ada banyak macam ekspresi dalam diwajah Umar kini. Hingga laki-laki itu mengatakan, “Jaga diri baik-baik. Jangan sampai kenapa-kenapa.”

“Jangan khawatir.”

Begitu jawab Agam, dalam hatinya. Yang hanya diwakilkan dengan anggukkan dan senyum tipis dari ujung bibirnya. Hingga tangannya itu menangkap sekotak rokok esse menthol dari Umar, membuat Agam mengangkat benda itu sebagai tanda terima kasih dan mulai menaiki tangga lantai dua untuk menuju ke perpustakaan.

THE TIM Where stories live. Discover now