25% Hurt

103 11 1
                                    

Semua pandangan itu terpaku kedepan, rasa tak percaya dan terkejut itu melayang begitu saja dengan tubuh terpekur, dengan hati hancur ditumbuk sebuah kenyataan. Tak ada erangan tangis justru membuktikan betapa nyatanya kehilangan itu hingga tidak mampu mengeluarkan sebulir air mata. Auman harimau itu sontak menjadi lagu paling pedih atas kehilangan seseorang benama Umar Az-zaidan malam ini.

Teras yang pernah menjadi tempat kejar-kejaran harimau dan para penghuni rumah itu menjagi hening dengan suasana redup, setelah tubuh tak bernyawa yang dibawa Agam digeletakan begitu saja ditengah-tengah sana. 

Siapa yang percaya bahwa laki-laki yang tadinya menyuruh teman-temannya pulang lebih dulu itu justru pulang dengan keadaan seperti ini? Matanya itu terpejam dengan tubuh yang kaku. Jeleknya, wajahnya itu penuh dengan noda merah yang sangat menganggu, membuktikan betapa mirisnya nyawa laki-laki ini melayang demi menghalangi musuh.

Kanda merasakan sesak luar biasa melihat jasad Umar didepannya. Bagaimana bisa laki-laki yang selalu berbagi cerita dengannya itu kini kembali sebagai tubuh tak bernyawa? Lututnya itu lemas didepan jasad Umar hingga merosot ketanah. Ia mendekati jasad laki-laki itu sambil merangkak tak punya tenaga.
Sampai ketika ia benar-benar didepan Umar, dadanya seperti dihantam batu gunung yang membuatnya kesulitan bernapas. Matanya itu memanas. Kenapa wajah temannya itu damai sekali? Seolah laki-laki ini pergi dengan tenang dan tidak meninggalkan apapun didunia. Ia berbisik pelan memegang jemari Umar yang pucat itu, “Mar…bangun Mar…udah mau pagi.”

Lalu Kanda mendongak pada seseorang yang tak jauh dari sana. Pandangannya itu kosong entah kemana, tubuhnya bak raga yang berdiri tegap namun tak bernyawa, mata dinginnya itu masih sama namun terlihat jelas tengah berteriak kehilangan. Bahkan bibir tipisnya itu membiru seraya dengan hati yang lebam.

Kanda kini mendekat, berdiri terseok-seok mendekati Agam yang masih terpekur. Menggucangkan bahu Agam dengan keras seolah menuntut sebuah penjelasan atas semua ini, “Mas Agam…Umar bercanda kan? Dia gak beneran mati kan Mas? Ayo dong Mas bangunin dia, bilangin kalau bercandanya gak lucu! Tadi dia masih bercanda sama aku loh Mas!”

Ditengah keheningkan itu, Agam memutar badannya memandang Kanda, juga mencari jawaban pertanyaan yang Kanda berikan lewat matanya, “Coba, Nda. Coba bangunin dia. Gue tadi udah nyoba tapi tetep gak bangun.”

Napasnya Kanda tercekat saat Agam yang balik mengguncangkan bahunya, “COBA NDA! BANGUNIN UMAR!!”

Sampai akhirnya Agam merosot ditanah, dadanya yang penuh itu terlalu mendesaknya untuk segera menangis keras saait itu juga. Ia  menutup wajahnya rapat-rapat lalu bersujud menyembunyikan tangis dari balik lengannya. Punggungnya nampak begitu sesak menahan isakannya, suara tangisnya terdengar begitu menyakitkan bagi siapapun yang mendengarkan.

Semua yang ada disana seolah merasakan bagaimana Agam tersayat begitu dalam atas kehilangan Umar. Bahkan suara tangis menyedihkan itu adalah pertama kalinya mereka dengar selama hidup bersama Agam. Seolah tidak ada tangis paling menyakitkan di rumah ini selain tangisan Agam yang kehilangan Umar.

“Gue sama sekali gak tau kenapa dia bisa begini, padahal sebelumnya dia masih ngasih gue rokok dan bersikap gak ada apa-apa. Umar bilang hati-hati, iya gue udah hati-hati. Dan gue harap dia juga bisa hati-hati sama dirinya. Tapi sekarang apa? Dia mati ketembak didepan gue? Setelah apa yang gue lakukin buat Umar biar dia gak mati gara-gara narkoba, kenapa Umar harus mati dengan cara kaya gini?”

Hingga ia mengangkat wajahnya yang basah, bersimpuh memandang sayu jasad didepannya masih dengan hati yang terpukul, “Selama ini dia paham gak kalau sebenernya dia yang bener-bener gue anggap adik?”
“ABANG KEHILANGAN INI MAR!!!” Teriak laki-laki itu sambil memukul-mukul dadanya.

Semuanya terdiam. Mereka paham betul bagaimana dekatnya Agam dan Umar. Agam memang menyayangi seluruh orang yang ada disini, tapi untuk Umar, laki-laki itu selalu mendapatkan posisi tersendiri bagi Agam sebagai saudara. Maka saat Agam bertanya demikian, bukan rasa dengki yang mereka rasakan, namun iba melihat kakak yang kehilangan adiknya.

THE TIM Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora