Kelas 1

173 86 59
                                    

"Sekelompok lagi?" Itu yang ditanyakan Kania ketika aku sedang menggunting kertas bahan presentasi. Temanku yang satu itu tampak tidak percaya karena untuk kesekian kalinya, Satya dan Selena berada di kelompok tugas yang sama.

"Mau bagaimana lagi," ucapku sembari melempar senyuman lebar ala-ala jokes meme. Tak lupa dengan tangan menggaruk belakang leher, supaya lebih mirip dengan yang ada di meme.

"Hari-hari tugas kelompok, hari-hari ngeliatin Satya dan Selena," cibir gadis berambut cokelat itu. "Gue doain lo berdua jodoh sampe pelaminan deh!"

Mataku membulat sempurna, "Cangkemmu, Niaaa." Ingin sekali 'ku tabok bibirnya yang suka bicara sembarangan itu. Oh, tapi aku benar-benar munafik karena dalam hati, aku diam-diam mengaminkannya.

'Ku lihat Satya tak ambil pusing soal candaan Kania. Anak itu sibuk menempelkan double tape dan mengurus tugas bagiannya. Syukurlah, aku benar-benar malu dengan candaan Kania barusan, dasar bocah sialan!

"Anak-Anak kelas 10 IPS 5, sudah masuk jam ke-2. Silakan bagi kelompok yang sudah siap untuk maju dan mempresentasikan hasil kerja kelompok kalian." Suara guru Geografi menginterupsi. Suasana seketika hening, tidak ada yang mau maju karena masih malu-malu dan belum siap.

Aku menoleh pada teman-teman kelompokkku dan bertanya pada mereka, "Mau maju, nggak?"

Mereka hanya menggerakkan bahu sebagai jawaban. Hal itu membuatku berdecak malas, karena tak ada rasa antusias dalam wajah mereka. Oh, itu juga berarti mereka tidak mau maju sebagai kelompok pertama.

"Loh? Ini nggak ada yang mau maju? Halo halo, sudah selesai semua, kan?" Bu Ani mulai terlihat kesal di depan, sedangkan semua anak kelas tertunduk lesu. Begitu pun aku, aku belum siap maju karena masih malu, aku sangat gugup untuk bicara di depan kelas, dan tidak siap untuk itu.

"10 IPS 5 nggak ada penghuninya apa, ya? Anteng sekali," Bu Ani jelas sudah marah. Bicaranya mulai sarkas, dan akhirnya, salah satu kelompok maju ke depan. Sayangnya, itu bukan kelompokku.

Aku punya gangguan kecemasan untuk bicara di depan kelas. Tanganku menjadi dingin dan basah, jantungku berdetak kencang sekali, dan seluruh tubuhku gemetar. Ayolah, ini hanya presentasi biasa di kelas, tapi aku seperti sedang menghadapi ribuan orang. Ya, begitulah jika kamu terlahir dengan kemampuan public speaking yang buruk.

45 menit berlalu, kelompok yang presentasi pertama, akhirnya selesai bersamaan dengan berakhirnya jam pelajaran.

"Sekian dari kami, mohon maaf apabila ada kekurangan, dan kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya." Itu Laura yang bicara, dia memang dikenal memiliki public speaking yang bagus. Aku benar-benar iri padanya, andai saja aku berbakat seperti dia, pasti aku akan lebih berani tampil di depan. Aku harap, suatu hari nanti, aku bisa tampil percaya diri seperti dia.

"Ini mau dibawa siapa?" Suara berat itu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan mendapati Satya tengah menatapku penuh tanya sembari memegang kertas berisi mind mapping bahan presentasi.

Dengan nada lelah, aku menjawab, "Aku aja yang bawa. Makasih ya, buat kerja kelompok hari ini."

"Oke." Dia berlalu setelahnya, dengan segenggam potongan kertas-kertas kecil yang merupakan sampah. Aku pun membereskan alat dan bahan yang tersisa sebelum guru mapel berikutnya datang.

"Guys, ada yang liat spidol itemku, nggak?" tanyaku pada anak-anak yang sekelompok denganku.

"Enggak, Sel."

"Enggak."

Aku berdecak kesal. "Aduh, mana ya? Mana masih baru." Semua meja di sekitar tempat dudukku telah 'ku periksa, tapi aku tak kunjung menemukannya. Pencarianku berakhir di meja Satya. Aku menemukan spidol hitamku di sana. Namun, itu tak membuatku merasa lega, lantaran ada hal yang membuat napasku tercekat ketika melihatnya.

Satya & Selena [TERBIT]Where stories live. Discover now