Pramuka

144 84 76
                                    

Pagi itu hujan, aku mengendarai motor dengan kecepatan rendah. Hujan deras yang turun sejak subuh tak henti-hentinya mengguyur belahan Bumi tempatku berada.

Jalanan cukup gelap di pagi hari, bahkan lampu jauh motor pun sudah 'ku nyalakan, tapi jalanan masih saja buram di mataku. Aku hampir saja oleng ketika ada motor yang menyalip, tapi aku berusaha untuk hati-hati hingga berhasil sampai dengan selamat di sekolah.

Hujannya masih lebat dan aku benar-benar bersyukur karena parkiran sekolahku memiliki atap tertutup sehingga motorku tidak kehujanan lagi.

"Selena!"

'Ku dengar seseorang memanggil namaku. Aku pun menoleh dan mendapati Satya yang sedang melepas mantelnya. "Oh, hai, Satya."

"Kamu bawa payung, ya? Mau nebeng dong," ujarnya sembari menunjuk payung lipat yang kubawa dari rumah.

"H-huh?" Aku tertegun sejenak, tapi kemudian mengangguk. "O-oke, Satya."

Yang terjadi selanjutnya adalah seperti yang kalian bayangkan. Aku berbagi payung dengan Satya di tengah hujan. Jarak dari parkiran ke kelas memang tidak jauh, tapi dalam momen itu, aku merasa seakan waktu berhenti untuk mengabadikan momen ini.

Berjalan bersamanya saja sudah membuat jantungku menggila, apalagi berbagi payung dan berdekatan seperti ini! Aku rasa, bukan jantungku saja yang menggila, tapi pikiranku juga ikut gila! Aku membayangkan momen itu seperti dalam drama, di mana kami berdua adalah tokoh utama yang saling jatuh cinta.

Oh Tuhan, sepertinya aku sedikit berlebihan.

Terlalu hanyut dalam pikiran, aku sampai tidak sadar kalau kami sudah sampai ke gedung sekolah. Meski sedikit basah karena tetap kehujanan, tapi setidaknya, kami tidak masuk ke kelas dalam keadaan basah kuyup.

Sebelum masuk ke kelas, aku senyum-senyum sendiri sembari mengingat kejadian beberapa menit lalu. Payung biru dengan motif awan itu menjadi saksi bisu kedekatan aku dan Satya. Walaupun udara sedang sangat dingin, tapi hatiku menghangat dan kejadian tadi masih hangat melekat di ingatanku. Bagaimana cara Satya memegangi payung untukku, dan aku yang bisa memandangi wajah tampannya itu dari jarak dekat!

Benar-benar momen paling epic sepanjang 15 tahun hidupku! Oh ayolah, Selena Nabila Putri, itu cuma momen biasa.

Tidak, tidak! Momen itu terlalu berbekas untuk dikenang olehku!! Terserah jika dikata lebay atau apalah, tapi aku benar-benar menggila karena ini.

"Selena?"

Imajinasiku buyar ketika namaku disebut. Mataku melotot ketika melihat guru matematika berada di depanku. "B-bu Sri?"

"Kamu ngapain di luar? Ayo masuk, kita ulangan matematika," ujar Bu Sri dengan entengnya, berbanding terbalik denganku yang kini berasa ditinggal nyawaku melayang.

"U-ulangan, Bu?" tanyaku memastikan.

Bu Sri mengangguk dengan semangat. "Iya, ulangan bab 1, yaa."

Rasanya aku mau pingsan saja. Aku tidak belajar sama sekali! Oh astagaa, seharusnya setelah tiga bulan di sekolah ini, aku tahu kalau Bu Sri suka memberi ulangan dadakan. Tapi ini baru pertama kalinya kelasku ulangan matematika.

Oh ya ampun! Bahkan di luar sedang hujan deras dan terdengar seruan petir di langit muram itu, tapi kami harus ulangan matematika di saat-saat seperti ini. Ck, ternyata rumor itu benar, tidak ada yang bisa menghentikan guru matematika sekalipun ada hujan badai.

Anak-anak kelas hanya bisa pasrah sambil mengeluh ketika Bu Sri mulai memberikan lembar jawaban dan soal. Beliau berjalan mengitari kelas dengan tatapan tajam. Kacamatanya yang turun dengan dramatis menambah kesan 'killer' pada Bu Sri.

Satya & Selena [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang