Kelas 3

44 19 29
                                    

Waktu berlalu dengan cepat, kelas 12 sudah di depan mata. Aku tidak menyangka akan secepat ini, aku masih belum siap untuk menerima kenyataan bahwasanya, aku sudah berada di akhir jenjang. Kelas 12 adalah kelas yang paling stress, dan aku telah kehilangan kewarasanku sejak hari pertama masuk sekolah.

Namun, sepertinya Tuhan memang baik. Di saat aku menghadapi stress-nya hidup sebagai anak kelas 12, Ia juga mengirimkan obat untukku.

Satya, anak itu kembali sekelas denganku, begitu juga dengan Kania. Wahh, sepertinya, kami memang pantas disebut sebagai 3 Serangkai.

Selain mereka, ada juga Laura dan beberapa anak 10 IPS 5 yang kini kembali sekelas.

Melalui pemilihan kelas secara acak, kami kembali sekelas di kelas 12 IPS 3. Bukankah itu lucu sekali? Kelas 11 dan 12, kami sama-sama berada di IPS 3.

Namun, Laura adalah saingan yang ketat. Dia adalah ranking 1 paralel selama 2 tahun berturut-turut. Selain itu, ada juga beberapa anak eligible dan memiliki peringkat tinggi di paralel.

Aku hanya bisa meneguk ludah ketika membayangkan betapa beratnya persaingan nilai di kelasku nanti. Apalagi, di semester 4 lalu, nilaiku sempat turun. Aku benar-benar cemas memikirkan nasib ke depannya.

"Bjir, saingan kita master-master semua, Sel." Kania berbisik padaku dan Satya. Kami bertiga duduk bersama dan menatap sekumpulan anak-anak pintar yang sedang berdiskusi.

Aku meringis melihatnya. Aura mereka saja sangat berbeda, aura khas anak-anak pintar. "Sumpah, iyaa. Takut banget cuyy, gawat buat pertahanin nilai."

Lalu, tatapan kami tertuju pada Satya yang duduk santai sambil menyilangkan kaki dengan anggunnya. "Kamu nggak cemas, Sat?" tanyaku.

Anak itu menggeleng dan berkata, "Aku kan nggak masuk eligible."

"Eh iya juga," Kania menimpali. "Kalo dipikir-pikir, di antara kita bertiga, cuma kamu yang ikut SNBP, Sel."

Aku melotot lebar, rahangku mau jatuh rasanya. "Kamu udah mundur dari SNBP, Nia?"

"Udah," jawabnya. "Aku mau masuk STAN aja, hehe."

"Loh? Tapi, katanya kamu mau ambil International Relationship? Nggak jadi?" tanyaku penasaran.

Kania menggeleng. "Orang tuaku nggak akan bisa biayainnya. Aku nggak mau maksa mereka, jadi aku harus lepasin mimpiku. STAN nggak buruk juga, kok. Aku kan suka ngehitung uang." Dia tertawa renyah. "Lagian, aku juga nggak pinter bahasa inggris."

Aku menatap sedih dan melengkungkan bibir ke bawah. "Sayang banget, padahal itu impianmu dari kelas 10, Nia."

Kania tersenyum kaku. "Nggak apa-apa, hidup nggak selalu tentang impianku, kok. Kata Ibu, hidup itu pilihan, dan pilihanku adalah bahagiain orang tuaku."

Kata-kata Kania berhasil menusuk jantungku. Aku merasa tertampar, di saat Kania rela melepaskan impiannya demi orang tuanya, aku justru tetap bersikeras mempertahankan impianku.

Aku sudah sangat keras kepala dan tanpa sadar, telah menyakiti hati orang tuaku. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, betapa egoisnya aku.

"Sel? Kenapa ngelamun?" tanya Kania setelah aku kembali dari lamunanku.

"Eh, hehe ... enggak, aku lagi mikir aja. Lupain deh," jawabku.

"Gapapa, jangan khawatir, kamu pasti bisa ningkatin nilamu, Lena." Perkataan Satya membuatku terkejut. Tidak, bukan perkataannya, tapi nama panggilan yang dia berikan padaku.

Biasanya, aku tidak suka saat orang-selain keluargaku, memanggilku seperti itu, tapi kenapa saat Satya yang melakukannya, aku menyukainya?

"T-terima kasih," jawabku terbata-bata. Satya bahkan sepertinya tidak sadar dengan yang baru dia katakan.

Satya & Selena [TERBIT]Where stories live. Discover now