1

91 13 0
                                    

Desah lelah keluar dari mulut Raden setelah membaca isi dari selembar surat yang diambil dari sebuah amplop berlabel suatu Rumah Sakit. Bukan surat yang isinya yang menyatakan dia mengidap penyakit berbahaya, kok. Atau yang menyatakan kalau dia hamil–seperti kebanyakan cerita bergenre mpreg maupun straight yang mengandung unsur kehamilan. Tetapi isinya memberitahu tentang keadaan tubuhnya; yang bisa dibilang sedikit aneh, meskipun tak berbahaya. Cuma sedikit berbeda. Itu saja.

Walau begitu, bagi pemuda berkulit pucat ini tetap saja bukan sesuatu yang menyenangkan mengetahui itu. Dia jadi memikirkan bagaimana ke depannya? Apa yang harus dilakukan agar menjaga diri supaya tidak terjadi hal-hal buruk pada dirinya? Memikirkannya saja sudah membuat Raden pusing. Apalagi jika memang mesti mempraktikkan setiap hari.

Suara ketukan terdengar membuyarkan pikiran Raden yang sedang melanglang buana. Iris coklat milik si kulit pucat mengarah pada pintu yang terbuka dan memunculkan seorang lelaki tinggi berkulit sawo matang yang memamer senyum sambil masuk ke dalam kamar. Buru-buru Raden memasukkan surat tadi ke dalam amplop dan menyembunyikannya ke balik badan. Menyungging senyum canggung untuk membalas lengkungan bibir lelaki itu.

Lelaki tinggi berkulit sawo matang tersebut adalah Rafa. Tetangga sekaligus sahabat dan teman sekolah Raden. Ya, mereka menimba ilmu di sekolah yang sama; tingkatan sama. Cuma berada di kelas yang berbeda sejak naik ke kelas dua menegah atas.

Rafa duduk di tepi ranjang. Masih pamer lekuk di bibir. “Kamu ngapain?”

“Nggak ada. Rebahan aja,” jawab Raden sekenanya. Dia tak berniat memberitahu pemuda di depannya persoalan isi surat dari Rumah Sakit yang dia baca tadi.

Rafa mengangguk-angguk. “Turun, yuk. Bi Unah udah masak, tuh.”

Giliran si kulit pucat mengangguk sambil turun dari tempat tidur diikuti si pemuda tiang–oh, karena posturnya terbilang tinggi. Sekitar seratus sembilan puluh dua senti meter. Lebih tinggi daripada Raden yang hanya seratus enam puluh lima. Mereka bak kakak-adik jika dilihat dari postur keduanya. Belum lagi warna kulit yang cukup berbeda. Kulit sawo matang Rafa membuatnya terlihat manly, cool dan lakik banget. Sedang Raden yang berkulit putih pucat layaknya mayat hidup. Mana badan kurus, pendek, seperti butuh perlindungan. Padahal dia lelaki tulen, loh.

Banyak siswi-siswi di sekolah mereka yang hobi menjerit kalau melihat Rafa dan Raden jalan berbarengan. Bahkan sampai menyuruh mereka untuk bergandengan tangan. Bah! Dikira dia dan lelaki tinggi itu pasangan apa? Walau sudah berteman sejak kecil, Raden tahu sekali kalau Rafa itu normal. Bahkan punya beberapa mantan pacar perempuan. Dia saja sih yang kurang tertarik atau memang belum tertarik untuk punya status asmara.

Mereka tiba di dapur.

Di meja makan sudah tersedia beberapa varian lauk pauk, nasi dan buah. Biasanya Bibi yang bekerja sebagai tukang masak cuma akan menyiapkan satu jenis masakan saja sesuai permintaan Raden. Toh, cuma dia yang akan menghabiskan. Jadi, daripada merepotkan Bi Unah, si pucat selalu meminta dimasakkan yang sama seperti untuk makanan asisten rumah tangga yang lain. Biar sekalian. Bi Unah tidak perlu memasak berkali-kali hanya karena Raden.

Iya.

Di rumah yang besar, megah, hampir menyerupai mansion itu, si kulit pucat tinggal bersama para asisten rumah tangga. Beberapa ada yang pulang hari; ada pula yang memang tinggal di dalam. Asisten yang tinggal di rumah adalah orang-orang yang sudah bekerja lama dengan orang tua Raden. Lalu ... ke mana orang tua si kulit pucat hingga mendiami rumah sendirian? Kepala keluarga Pramuwijaya beserta istrinya telah berpulang dua tahun yang lalu saat kembali dari luar negri. Mereka mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Oleh karena itu, Raden menjadi sebatang kara dan tinggal di rumah megah nan besar ini.

Untuk latar belakang si kulit pucat yang lain nanti saja kita ceritakan ya.

Dua pemuda berbeda tinggi, postur bahkan warna kulit sudah menempati kursi di meja makan. Duduk saling berhadapan. Masing-masing juga telah mengambil nasi serta lauk yang diinginkan. Memulai santap siang.

Mendapati suasana yang hening–cuma terdengar peralatan makan yang saling bersentuhan–Rafa merasa kurang nyaman. Memang Raden bukan tipe yang suka bicara, tapi sifat pemuda itu makin hari makin murung. Membuat si pemuda tiang khawatir. Alasan dia berkunjung ke rumah Raden adalah untuk mengecek keadaan si kulit pucat. Pun meminta Bi Unah untuk memasak lebih banyak makanan untuk menggugah selera si tuan rumah. Mana kalau dia tak mengajak Raden tadi, bisa dipastikan anak itu akan lupa makan dan memilih mengurung diri di kamar.

“Kamu udah mikirin mau lanjut ke mana?” akhirnya si tinggi memutuskan buka suara.

Gerakan mengunyah si kulit pucat terhenti sejenak sebelum melanjutkan kembali sambil menggelengkan kepala. Dia menjawab tanpa suara. Pun tak memandang ke arah si pemberi pertanyaan.

“Kenapa?”

“Belum tahu mau ambil jurusan apa.” Jawabannya singkat, namun mampu mematikan percakapan.

Si pemuda tinggi menghela. Sepertinya mood Raden sedang buruk. Di ajak mengobrol, malah begitu. Walau yang dia ajukan sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi sebab sebentar lagi mereka akan lulus sekolah menengah atas. Lagi pula Rafa sudah memprediksi kalau Raden akan melanjutkan kuliah urusan manajemen atau bisnis untuk mengambil alih perusahaan yang sekarang sedang dipegang oleh grup asisten papanya.

Meskipun hanya orang luar, dia bersyukur orang-orang di sekitar sahabatnya adalah orang baik yang tidak memanfaatkan keadaan. Mereka dengan jujur melanjutkan perusahaan, bahkan memberi laporan tiap bulan pada Raden. Pun Bibi dan ART lain yang bekerja di rumah tidak ada yang aneh-aneh.  Jadi, si kulit pucat itu tidak terlalu banyak pikiran selain urusan sekolah dan masa depannya.

“Besok mau bareng, nggak? Motorku udah bener.”

Kepala yang sejak tadi tertunduk sontak mendongak. Menatap lelaki berkulit sawo matang di hadapannya. Meski ekspresinya masih datar, tapi dari binar coklat yang berkilau, Rafa tahu kalau si kulit pucat ini tertarik mendengar ajakannya.

“Boleh!”

Tak berselang lama kedua ujung bibir Raden tertarik ke atas. Memang bukan lekukan sempurna, nyaris samar malah. Namun, senyum tipis itu tetap terlihat jelas di retina hitam si pemuda tinggi.

“Nah, gitu dong. Kan enak lihatnya kalo semringah.”

Seketika mulut Raden menukik ke atas sebelah. Mencibir lelaki di depannya di susul kalimat, “Apaan coba.”

Tapi sungutan itu tak dihiraukan Rafa. Malah lelaki ini terkekeh melihat sahabatnya cemberut. Ya ..., Raden meskipun cuek dan jutek, sebenarnya lucu. Ditambah orangnya sangat simpel dan tidak neko-neko. Walau latar belakang finansial keluarga mereka berbeda; Rafa berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tetapi Raden masih nyaman berteman. Belum lagi sudah sering mampir ke rumah masing-masing. Kediaman Pramuwijaya sudah bagai rumah kedua bagi Rafa, begitu pula sebaliknya.

“Ya udah. Besok tunggu aku jemput. Kamu jangan begadang. Telat, kutinggal.”

“Iyaaaa!” Sahutan panjang dari si kulit pucat mengundang tawa dari si lawan bicara. Raden ngedumel melihat Rafa yang malah sengaja memancing emosinya.

 ***

2R : Deal with DestinyWhere stories live. Discover now