6

45 7 0
                                    

Hari ini Rafa sengaja tidak pulang bareng Raden. Namun, dia tetap mengantar si kulit pucat ke gerbang depan sembari menunggu Pak Madi datang menjemput. Pun tak perlu ia mencari-cari alasan mengapa tak bisa bersama. Raden bukan tipe yang kepo dan harus dijelaskan secara detail sampai dia paham dan mengerti. Juga tidak terlalu ingin tahu kegiatan Rafa di luar sekolah. Cuma bilang ada urusan, si kulit pucat akan mengangguk dan meminta dijemput oleh sopir pribadi Pramuwijaya.

Setelah melihat mobil yang dinaiki oleh sahabat kentalnya sejak kecil tadi menghilang di ujung jalan, Rafa baru balik badan dan masuk ke area gedung sekolah. Ya, dia tahu tindakannya agak aneh di mata orang normal umumnya karena menunggu Raden dijemput–sudah seperti pacar yang tak bisa mengantar kekasihnya pulang dan sama-sama menunggu jemputan; memastikan sang Kekasih pulang dengan aman.

Kalau ditanya kenapa ... karena Raden spesial.

Tapi, bila ditanya lagi spesial dalam hal apa, Rafa tidak tahu menjelaskannya bagaimana.

Satu alasan yang paling utama adalah si kulit pucat adalah teman semasa kecil. Mereka sudah bertetangga sebelum lahir. Pertama kali bertemu di taman kanak-kanak yang kemudian menjadi dekat. Raden anak yang pendiam, tidak banyak bicara dan cenderung tak aktif. Berbanding terbalik dengan Rafa yang suka bermain, suka berinteraksi juga suka hal-hal baru. Keingintahuannya cukup tinggi yang sering membuatnya penasaran. Meski begitu, Rafa bukan anak yang suka ikut campur. Yang menurutnya tidak terlalu mengganggu akan dibiarkan saja.

Contohnya, para siswi yang membuat keributan tentang dia dan Raden.

Menurut Rafa, tak terlalu berpengaruh di kehidupan sehari-hari. Memang sedikit berisik, namun masih bisa dia abaikan. Makanya tidak ambil pusing dan membiarkan siswi-siswi tersebut heboh. Tapi, karena sudah membuat sahabat karibnya risih, dia harus memberitahu para siswi tersebut. Si tiang ini pun tak suka melihat muka cemberut Raden. Kalau muka datar si kulit pucat kan hampir setiap saat, itu cukup. Tidak dengan kening yang berkerut, tatapan sinis dan muka kesal.

Cowok berkulit sawo matang ini berjalan ke arah belakang gedung Sekolah. Di area belakang gedung terdapat taman kecil. Pun di sana banyak pepohonan sehingga area belakang terasa sejuk meski matahari lumayan terik. Banyak anak-anak yang nongkrong di belakang sekolah sebelum pulang. Biasanya sih kumpul-kumpul biasa, mengobrol, dan main game. Juga Rafa tahu di sana dia bakal menemukan siswi-siswi fujoshi yang hobi menjerit jika melihatnya serta si kulit pucat.

Saat tiba di area belakang gedung sekolah, si cowok tinggi melihat ada tiga kelompok murid; kelompok pertama dan kedua semuanya laki-laki yang kelihatan sedang bermain game, sementara kelompok yang lain adalah para siswi fujoshi yang memang menjadi tujuan Rafa.

Langsung saja pemuda ini menghampiri kelompok yang semuanya adalah perempuan. Mereka menempati sebuah meja panjang dan hanya mengisi satu sisi, jadi sewaktu Rafa sampai di meja mereka, dia segera duduk di sisi yang kosong; lebih tepatnya di hadapan para siswi tersebut sehingga mengalihkan perhatian mereka yang sejak tadi asik dengan handphone masing-masing sambil mengobrol. Entah apa yang dibicarakan. Meski fokus mata pada ponsel, obrolan mereka tetap nyambung.

“Hai,” sapa Rafa.

“Ra-Rafa ....”

Tentunya kehadiran cowok berkulit sawo matang dengan wajah lembut dan senyum tipis di bibir itu mengagetkan mereka. Sosok yang dibayangkan sebagai dominan dalam pasangan yang mereka sukai. Kelompok siswi yang berjumlah lima orang–selebihnya sudah pulang duluan karena punya jadwal les sore–seketika menjadi kikuk dan tegang. Memikirkan mengapa Rafa menghampiri mereka.

“E-erm ..., ada apa ya?” salah satu bertanya dengan terbata.

Apa karena mereka yang selalu heboh belakangan ini?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

2R : Deal with DestinyWhere stories live. Discover now