5

35 4 0
                                    

Suasana kantin saat jam istirahat tentu ramai siswa-siswi. Raden yang baru tiba segera mengedarkan pandangan mencari sosok tiang yang tentu cukup mudah menemukannya. Karena postur tubuhnya yang tinggi, cowok itu lumayan mencolok dibanding murid-murid lain. Rafa duduk di meja panjang yang telah diisi beberapa siswa. Masih ada sisi kosong di meja itu yang sepertinya memang di siapkan oleh si cowok tinggi.

Raden menghampiri Rafa dan tiga siswa lain yang kemungkinan teman sekelas si cowok tinggi. Celah kosong di meja itu ada di depan si remaja berkulit sawo matang. Kursi panjang yang bisa di duduki empat sampai lima orang. Karna kursi itu belum terisi siapa pun, jadi Raden menempati yang tepat di seberang Rafa diikuti Bagas di sebelah si kulit pucat.

Di hadapan si cowok kiyut–ahem–beriris coklat itu sudah ada seporsi sate dengan kuah melimpah; sesuai pesanannya di pesan yang tadi di kirimkan untuk Rafa.

“Wih. Mestinya gue ikutan nitip tadi.” Cowok berkacamata di samping si kulit pucat berkomentar selagi ujung matanya melirik ke piring di depan Raden.

“Lo nggak ngomong,” sahut si kulit pucat enteng. Mulai menyendok satu potong lontong dari piringnya.

“Iya, sih. Juga nggak ditawarin.” Katanya lalu bangkit dari kursi. “Gue mesen dulu.”

“Eh, ikut. Gue mau beli minum.” Seseorang di sebelah Rafa menyusul beranjak dari kursi kemudian menepuk pundak si cowok tinggi. “Titip bentar.” Tanpa menunggu jawaban dari temannya, dia mengikuti si cowok berkacamata.

Kantin di sekolah ini memakai aturan foodcourt. Di area kantin yang lumayan luas terdapat kios-kios pedagang. Ada yang berjualan bakso, nasi goreng, sate dan makanan berat lain. Serta penjual minuman juga snack. Para siswa-siswi tinggal memesan yang mereka inginkan dan menunggu di meja. Jadi, lumayan banyak pilihan santapan.

“Mau nambah nggak?”

Raden mendongak. Menatap cowok tinggi di hadapannya yang sepertinya sudah selesai makan. Ada piring yang telah habis isinya juga gelas yang tinggal setengah. Di sebelah Rafa ada dua remaja lain yang masih asik makan sambil menonton–menggunakan satu ponsel–yang dipasang handsfree; satu bagian di telinga cowok berambut cepak dan satu lagi di telinga cowok berambut tebal di belah samping. Mereka nonton bareng dan berbagi handsfree. Yang seperti ini yang mestinya di jeritkan oleh siswi-siswi fujoshi, bukan Raden dan Rafa yang cuma jalan berdampingan lalu mereka histeris.

Si kulit pucat menggeleng.

Sehabis gelengan kepala itu terdengar ribut-ribut dari meja yang berjarak tidak terlalu jauh. Otomatis perhatian semua orang beralih ke sumber suara tersebut. Di satu meja terdapat segerombolan siswi yang sedang histeris sembari melihat ke arah Raden, lebih tepatnya ke meja si kulit pucat, Rafa dan dua temannya.

“Lucu banget sih!”

“Raden sangatlah ukeable. Pengin gue culik rasanya!”

“Ih jangan, nanti di amuk Rafa, lo!”

“Oh, iya. Aw!”

Sudah rahasia umum sekelompok siswi yang menamai mereka RR Club itu meribut di kantin. Tak hanya kantin, di setiap kondisi jika mereka melihat Rafa atau Raden, bahkan keduanya. Ada saja yang dijeritkan. Ada saja yang dihebohkan.

“WOI! BERISIK LO PADA!”

“BIARIN, WLE!” Sahut salah satu dari gerombolan cewek-cewek itu.

Raden menghela napas. Kalau di sekolah pasti jadi pusat perhatian. Tapi, bukan yang positif. Melainkan negatif. Ya, kan? Pusat perhatian untuk keributan yang dilakukan para siswi-siswi gila yang mengakui mereka seorang fujoshi. Well, Raden tahu istilah itu karena pernah searching di internet. Mereka selalu mengelu-elukan fujoshi sampai membuat si pucat penasaran. Pun artinya bukannya hal baik ternyata.

“Udah. Jangan ditanggepin,” ujar Rafa.

Cowok manis dengan rambut ikalnya ini menatap si cowok tinggi serius. “Gue risih tahu.”

“Iya. Makanya jangan ditanggepin. Biarin aja mereka.”

Ingin rasanya Raden menggetok kepala Rafa karena ucapannya barusan. Ditanggapi saja mereka makin gila, bagaimana kalau tidak digubris? Bisa-bisa tak hanya di sekolah, di luar pun mereka akan menyebarkan rumor tidak benar tentang dirinya dan si cowok tinggi. Setidaknya ada penegasan dari kedua orang yang dijadikan bahan histeria para siswi itu. Kalau cuma Raden yang protes, mereka bakal berpikir jika Rafa membenarkan sesuatu yang mereka pikirkan.

“Nggak bisa gitu, dong. Mereka harus dikasih tahu. Stop jadiin gue sama lo bahan fantasi.”

Dua cowok yang sebelumnya asik menonton di handphone bersamaan melirik ke dua orang yang satu meja dengan mereka. Video atau film di layar ponsel sudah di jeda. Mereka jadi tertarik mendengarkan obrolan dua cowok yang katanya sahabat itu. Well, persahabatan yang ditunjukkan Rafa dan Raden tidak seperti persahabatan para cowok pada umumnya, sih. Saat jejeritan para siswi yang mengatakan kalau si tiang dan si pucat cocok seperti pasangan, dua cowok ini jadi mengamini.

“Iya-iya. Nanti aku coba cari mereka terus bilangin.” Rafa bukan orang yang mudah emosi, pun yang cepat terpancing. Dia biasa saja menanggapi kehebohan para siswi di sana. Tidak ambil pusing juga. Makanya diam. Tipe yang sangat santai, meski harus dijadikan fantasi gila oleh sekelompok siswi SMA.

Namun melihat kerutan di muka si sahabat, sepertinya dia harus bertindak.

“Awas kalo boong, lo.”

“Iyaaaa~”

Kan, kan, kan.

Persahabatan cowok mana yang obrolannya macam itu? Yang nada bicaranya lembut bak bicara dengan lawan jenis? Apa jangan-jangan Rafa menganggap Raden itu perempuan? Walau memang aslinya si cowok tinggi memang lembut, tapi sikapnya pada si pucat bisa dikatakan berlebihan. Rafa itu tutur katanya sopan. Pun cara dia berbicara sangat baik. Berbeda dengan anak remaja sebayanya yang ... ya, kalian pasti mengerti. Makanya dia cukup disukai dan menjadi siswa populer.

Hanya saja ... Raden menjadi tameng kuat jika ingin berteman dengan si cowok tinggi.

Bukan hanya para lelaki, perempuan yang mendekati Rafa pun harus rela menjadi nomor dua. Prioritas cowok tinggi tersebut ya Raden. Mendahulukan keperluan, kepentingan, atau apa pun yang berhubungan dengan si kulit pucat. Seperti pacar yang setia.

Kedua cowok yang menguping tadi memutuskan tak mau lagi mendengar. Melanjutkan kegiatan menonton mereka dan menghabiskan menu makan siang yang tinggal sedikit lagi. Bisa diabetes mereka kalau terus melihat Rafa dan Raden. Tidak mau ikut campur juga.

Eh, tapi ....

Bagas kok lama sekali, ya?

***

2R : Deal with DestinyWhere stories live. Discover now