3

59 12 2
                                    

Tampak keterkejutan di garis wajah si lelaki berkulit sawo matang. Retina hitamnya memandang lekat pemuda beriris coklat yang juga menatap lurus padanya. Tidak ada keraguan dari ekspresi di wajah Raden. Cowok itu serius dengan ucapannya. Meski, menurut Rafa sangat mendadak dan di waktu yang sangat tak terduga.

“Ini di rumah, loh. Kalau ibuk atau bapak tiba-tiba pulang, gimana?” Tanya si kulit sawo matang.

“Bantuin acara seserahan itu lama. Bapak biasa balik sore. Terus Rafka pasti main dulu sebelum pulang.” Si kulit pucat menyahut santai. Sudah tahu jadwal penghuni rumah yang lain.

Yang dikatakan Raden benar adanya. Ayahnya Rafa pulang kerja sore hari. Kalau sedang banyak pekerjaan biasanya sampai malam. Adik si cowok tinggi yang juga seorang anak lelaki pasti selalu singgah dulu entah di rumah temannya yang mana untuk bermain baru pulang. Jadi, siang-siang begini biasanya cuma ada sang Ibu kalau tak ada kegiatan di luar. Nah, karena semuanya sedang di luar, cuma ada mereka berdua di rumah.

Rafa tidak bisa membantah. Dia menghela panjang setelah mendengar perkataan pemuda di atas ranjangnya. Menatap sorot yang tak bergeming; tidak ada niatan melunturkan keinginannya kemudian menempelkan kening mereka. “Kalau gitu, jangan minta berhenti di tengah jalan.”

Si cowok berkulit pucat mengangguk.

Mendapatkan persetujuan begitu, wajah Rafa turun melewati muka Raden dan berhenti di perpotongan leher pemuda yang lebih pendek. Membenamkan kepalanya di sana. Hidung Rafa menyentuh kulit putih pucat milik Raden yang membuat si pucat seketika merinding merasakan sensasi nafas yang berembus yang langsung mengenai kulitnya.

Dengan posisi kepala yang masih terbenam di bagian leher dan pundak si cowok pucat, tubuh Rafa yang setengahnya berada di lantai bergerak naik ke atas ranjang; berpindah ke atas badan Raden yang berbaring. Mengukung yang lebih kecil di bawah tubuhnya. Sementara tangan kanan Rafa menahan beban berat tubuh sendiri, tangan satunya yang bebas naik ke dada dan bergerilya di atasnya.

Badan Raden gemetar. Sentuhan-sentuhan pelan di bagian dada ditambah embusan napas di leher menghantarkan getaran aneh di seluruh tubuh si kulit pucat. Bukan sensasi yang asing, tapi dia selalu merinding tiap kali Rafa memulai kegiatannya.

“Emnh ....” Raden melenguh. Menutup mulutnya menggunakan punggung tangan dan memejamkan mata. Membiarkan si cowok tinggi menginvasi seluruh badannya.

**

Saat membuka pintu dan masuk ke dalam kamar, Rafa melihat sahabat masa kecilnya sudah duduk di tepi ranjang dengan seragam yang terpasang rapi dan menyandang tas ransel miliknya. Cowok tinggi ini yang baru selesai mandi mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk. Berjalan masuk dan menarik kursi meja belajar yang dia putar agar bisa duduk menghadap si kulit pucat.

“Kamu mau langsung balik?”

Raden mengangguk.

“Nggak makan dulu?”

Si kulit pucat menggeleng. “Di rumah aja ntar.”

“Aku anter?” handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut di biarkan bertengger di pundak. Rafa menatap Raden yang beranjak dari ranjang.

“Buru pakai baju. Gue tunggu di depan.” Katanya judes lalu melenggang keluar dari kamar. Meninggalkan si cowok tinggi yang mengamati tubuh yang lebih kecil darinya menghilang dari balik pintu.

Ada seulas senyum terbit di bibir yang memiliki tahi lalat di bagian atasnya. Kalau ditawari hal-hal yang membuat cowok mudah, tidak akan ditolak. Pun Rafa sudah ganti baju, loh. Memang bawahannya masih bokser–yang diambil dari lemari tadi. Bokser sebelumnya telah masuk ke keranjang pakaian kotor. Si pemuda berkulit sawo matang menggantung handuk di lehernya di hanger yang ada di balik pintu kamar dan mengambil celana kain yang juga tergantung di sana kemudian memakainya. Membiarkan rambut yang setengah kering begitu saja membuat tampilan anak muda ini terlihat fresh.

2R : Deal with DestinyOnde histórias criam vida. Descubra agora